JAYALAH LAMONGAN MAJULAH TERUS PEMBANGUNAN

RADIKALISME AGAMA, KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN DI LAMONGAN

Amrozi: Gambaran Kemiskinan Lamongan

Lamongan —sebuah kabupaten miskin di Jawa Timur — tiba-tiba mendapat perhatian luas tidak hanya publik nasional, namun juga internasional. Karena dari daerah inilah seorang tokoh radikal Islam bernama Amrozi berasal. Ia dan beberapa saudaranya, melakukan aksi terorisme bom Bali yang terdahsyat pengaruhnya dalam sejarah Indonesia. Mata dunia tertuju ke Lamongan bukan hanya karena ia berasal dari sebuah daerah miskin di Jawa Timur, melainkan karena ternyata jaringan kerja terorisme Amrozi dan saudara-saudaranya tidak cuma mencakup Indonesia, melainkan menjadi bagian dari jaringan terorisme internasional yang tidak bisa diremehkan.

Melihat Lamongan —yang lama terasuh di bawah Islam tradisional yang sejuk dan pasifis— banyak orang ingin menemukan jawaban mengapa radikalisme tumbuh dan eksis di sana. Martin van Bruinessen, menyebutkan, bahwa agama punya peran yang paling sentral dalam kehidupan kaum miskin dan mereka yang tersisihkan dari kehidupan politik sehingga memunculkan gerakan-gerakan sempalan, fundamentalisme dan radikalisme. Lamongan, sebagai bagian dari kultur Islam Jawa Timur, yang menurut Bruinessen, Islamnya lebih lemah dari Jawa Barat , ternyata memiliki derajat radikalisme yang mungkin bisa disetarakan dengan sejumlah radikalisme di masyarakat Sunda pada tahun 1888 dan 1949 di Jawa Barat. Namun, Lamongan dengan latar-belakang kultur, sejarah, ekonomi, sosial dan politik perlu penjelasan khusus tentang mengapa radikalisme muncul di sini.

Dalam kepustakaan tentang munculnya gerakan Islam radikal di Iran, Turki dan Mesir pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, salah satu penjelasan yang sering diutarakan adalah migrasi massa dari desa dan kota kecil ke kota-kota besar atau ke pusat-pusat perputaran ekonomi yang lebih intens. Dikatakan, gerakan-gerakan Islam radikal itu mewakili terutama para pendatang baru ke kota besar yang “tidak berhasil mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan budaya dan ekonomi kota besar dan mengalami alienasi yang parah.” Lamongan dengan Amrozi, oleh karenanya, mungkin menarik untuk dikaji dari pertautan ini ke ujung yang lain, tetapi dengan memulai mengkaji para pendatang yang gagal di kota-kota besar dan mengamati bagaimana pengalaman mereka tersebut mempengaruhi keyakinan dan perilaku keagamaan mereka.

Bruinessen, selain mempertimbangkan pengaruh migrasi ke kota, atau ke pusat-pusat di mana uang sebagai materi terpenting dalam kehidupan yang semakin komersil sekarang ini berada; ia juga mempreskripsikan bahwa “orang-orang radikal harus dicari bukan di kalangan mereka yang paling miskin dan paling marjinal dalam masyarakat, tetapi di kalangan mereka yang lebih berada, berpendidikan tinggi dan punya ambisi yang lebih besar.” Lamongan, pada waktu setting sejarah masa lampau Amrozi dicoba rekonstruksikan secara singkat oleh banyak media, kita baru menyadari bahwa kehidupan Amrozi, sanak saudara dan handai-taulannya, secara bersama menawarkan gambaran yang sangat menarik tentang sejarah modernisasi Indonesia pada periode akhir Orde Baru.

Kehadiran Amrozi, dalam gambaran sejarah regional dan spesifik ini, memberikan pandangan yang kontras dengan sejarah yang ditulis pada umumnya. Sejarah Lamongan pada periode Amrozi, tidaklah memusat pada perhatian akan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh formal penting tertentu. Sejarah sosial Lamongan, dengan adanya tokoh yang tidak formal dan tidak penting seperti Amrozi, dalam perspektif Bruinessen, adalah “sejarah dari bawah”; sejarah sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang seringkali berada di pihak yang kalah. Sejarah ekonomi pertanian juga memperlihatkan bahwa Lamongan, yang jika kita lihat dari perspektif “agricultural involution” Clifford Geertz, adalah “inner Indonesia”, daerah terbelakang dalam pembangunan (underdevelopment), minim dengan sumber daya alam yang bisa diolah untuk menopang tingkat konsumsi yang tinggi dari populasi yang terus bertambah pesat.

Dalam sejarah kolonial Belanda, karena peranannya yang economically unessential inilah Lamongan terbebas dari politik Tanam Paksa (cultuurstelsel). Lamongan diuntungkan secara ekologis ditinjau dari perspektif ini; suatu daerah yang bebas dari politik tanam paksa karena kondisi tanahnya yang kurang subur. Namun, untuk tinjauan ekonomi pasca-kemerdekaan, beberapa tanaman yang merupakan tanaman wajib pada masa Sistem Tanam Paksa dicobakan di daerah ini tapi tidak pernah membuahkan hasil ini berdampak kurang beruntung bagi pertumbuhan regional ekonomi di negara yang masih agraris ini. Tanahnya yang tandus, terdiri dari sedimentasi tanah kapur dan batu padas telah menyebabkan sulitnya daerah Lamongan ditanami tanaman yang bisa menghasilkan pada masa kolonial Belanda, menyebabkan kultur dan pandangan hidup penduduknya berubah dari inward-looking ke outward-looking. Migrasi penduduk ke berbagai wilayah perkotaan yang lebih menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi inilah yang telah mendorong generasi sebaya Amrozi keluar dari Lamongan.

Hingga pada periode Orde Baru —yang sering mengklaim dirinya sebagai Orde Pembangunan— tanaman pertanian milik penduduk di Lamongan sering mengalami kegagalan panen dalam setiap tahunnya. Pada musim penghujan kegagalan disebabkan karena hujan, sedang pada musim kemarau disebabkan karena kekurangan air dan terserang hama seperti mentek dan beluk, seakan Orde Pembangunan tidak mampu menjulurkan tangan birokrasi developmentalisnya ke Lamongan. Sebagian besar usaha pertanian penduduk sebagian besar bergantung pada hujan, sebagain besar sawah yang ada di daerah Lamongan adalah sawah tadah hujan. Hujan yang tidak pernah setetes pun dihasilkan dari trickle-down effect pembangunan Orde Baru ini, memberikan pandangan tentang betapa besarnya rahmat Tuhan. Mungkin dari kondisi inilah kemunculan radikalisme agama yang diusung Amrozi dan saudara-saudaranya bisa dijelaskan.

Latar-belakang ini dicoba jelaskan dengan menggunakan angka-angka tentang pendidikan dan hubungannya dengan agama. Banyaknya imigran Lamongan yang terjun ke dalam sektor informal tentu saja terkait erat dengan tingkat pendidikan yang mereka terima. Dengan tidak mengabaikan kualitas pendidikan pesantren, sebagian besar masyarakat Lamongan hanya mengenyam pendidikan di pesantren, yang dalam hal tertentu lembaga pendidikan tersebut ternyata tidak memberi bekal ketrampilan yang cukup dalam bidang-bidang “keduniaan” karena arah pendidikan mereka memang ditujukan untuk penguasaan ilmu-ilmu agama. Pada tahun 2003 misalnya jumlah masyarakat yang menimba ilmu di pondok pesantren (santri) yang tersebar di Lamongan mencapai angka 59.252 orang. Apabila jumlah tersebut ditambah dengan siswa madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah) yang dikelola oleh pondok pesantren maka jumlahnya akan menjadi 122.496 orang. Jumlah tersebut memiliki selisih yang tidak terlalu besar dengan jumlah siswa di sekolah-sekolah umum yang mencapai 139.655 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lamongan hampir separuhnya memilih memasukan anak-anaknya ke lembaga pesantren dari pada menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan umum.

Berkah agamalah yang masih tetap memelihara kelangsungan hidup rakyat di Lamongan menghadapi kerasnya kondisi alam. Kondisi seperti itu tetap berlangsung sampai saat ini. Data tahun 2003 menunjukkan dari 84.672 hektar sawah yang ada di Lamongan, 33.941 hektar adalah sawah tadah hujan. Di beberapa desa di Lamongan Selatan sebagian besar penduduknya juga menggantungkan air hujan untuk kebutuhan sehari-harinya seperti untuk mandi dan minum. Kondisi alam yang kurang ramah telah menyeret sebagain besar masyarakat Lamongan berkubang di dalam lumpur kemiskinan.

Perubahan mulai terjadi pada masa reformasi, terutama di bawah kepemimpinan Bupati Masfuk di mana Lamongan telah berkembang menjadi salah satu kabupaten yang terkemuka dalam hal pembangunan sarana dan prasarana fisik di Indonesia. Sejak pertama kali dilantik menjadi Bupati Lamongan pada tahun 2000, Masfuk, seakan tidak pernah berhenti melakukan berbagai terobosan untuk memajukan daerahnya, utamanya menggenjot sektor riil yang pernah terpuruk akibat diterjang badai krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi Masfuk, dengan mengarahkan programnya pada sektor riil maka ekonomi rakyat akan dapat ditingkatkan, dan dengan demikian maka kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan pula. Masfuk, telah melakukan transformasi radikal masyarakat dan daerah Lamongan.

Untuk melihat transformasi ini terjadi di Lamongan, kita harus menengok ke belakang di mana banyak orang pada awalnya tidak mengenal sama sekali daerah Lamongan, mendengar nama tersebut pun mungkin asing. Lamongan hanyalah sebuah kota kecil di Indonesia, seakan tidak ada yang bisa dibanggakan di atas dan di dalam tanah tandus daerah ini. Lamongan menemukan momentumnya beberapa saat setelah meletus bom di Bali. Namanya kemudian melejit, menghiasai koran-koran lokal, nasional, bahkan internasional. Nama Lamongan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ledakan bom di Bali, karena ternyata para aktor di balik ledakan itu adalah warga Lamongan. Dunia pun terhenyak, ternyata dari daerah sekecil Lamongan muncul sekelompok orang yang mampu memalingkan pandangan dunia ke tanah kering kerontang, yang di sana-sini terlihat bekas-bekas kerusakan ekologis.

Lamongan sebelumnya tidak pernah terkenal, karena daerah ini miskin, tidak berprestasi, dan terbelakang. Hutan-hutan pun meranggas akibat desakan pertumbuhan penduduk yang memanfaatkan potensi hutan yang melebihi carrying-capacity. Namun sebenarnya, di balik fenomena Amrozi dan kawan-kawan, Lamongan saat ini adalah daerah yang sedang berubah secara terencana dan tak-terencana. Secara terencana, Lamongan ibarat naga yang sedang terbangun. Lamongan sekarang adalah Lamongan yang sedang membangun diri, Lamongan yang berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu.

Tahun 1970-an sampai awal tahun 1990-an masyarakat, umumnya masyarakat Jawa Timur mengenal Lamongan sebagai daerah paling miskin nomor dua di Propinsi Jawa Timur setelah Kabupaten Pacitan. Dua daerah tersebut memiliki karakteristik yang sama, keduanya berada di daerah pesisir yang salah satu sisinya diapit oleh gunung kapur yang tandus, yang sangat sulit untuk ditanami tanaman pertanian. Wilayah Lamongan sendiri sebagian besar terdiri dari daerah dataran rendah dan rawa-rawa, yang secara lebih rinci dapat dibagi dalam tiga karakteristik. Bagian tengah belahan selatan terdiri dari dataran rendah yang relatif bisa ditanami, meliputi wilayah kecamatan Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Kedungpring, Sugio, Kembangbahu, dan Tikung. Bagian tengah belahan utara, terdiri dari daerah bonorowo yang rawan banjir, meliputi beberapa kecamatan: Turi, Sekaran, Karanggeneng, Laren, Kalitengah, Karangbinangun, Glagah, dan Deket. Bagian selatan dan utara terdiri dari pegunungan kapur dan sebagian berupa dataran rendah (plateu), seperti Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Sukorame, Brondong, Paciran dan Solokuro.

Kondisi dan karakteristik geografis telah menjadikan daerah Lamongan terperangkap ke dalam kemiskinan yang abadi. Pemerintah daerahnya maupun penduduknya sama-sama mengalami kemiskinan yang akut. Secara transparan kemiskinan daerah dibuktikan dengan kecilnya Produk Domestik Regional Bruto untuk Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1983 misalnya, PDRB daerah Lamongan hanya mencapai Rp 225.461.601.100. Angka tersebut sangat tidak ada artinya bila dibandingkan dengan PDRB Kota Surabaya pada tahun yang hampir bersamaan, yaitu tahun 1984 yang mencapai Rp. 1.715.000.000.000 Beberapa data memang menunjukkan bahwa PDRB daerah ini selalu mengalami kenaikan. Pada Tahun 1995 PDRB atas dasar harga berlaku sudah mencapai angka Rp. 1.149.380.170.000, namun angka tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sidoarjo pada tahun yang sama yang mencapai angka Rp. 4.895.642.140.000. Perubahan terencana —dalam pengertian pertumbuhan yang tidak natural, berdasarkan tabel di atas hanya mungkin terlihat pada tahun-tahun setelah 1995.

Secara kuantitatif, angka kemiskinan penduduknya ditunjukkan dengan angka-angka pendapatan per kapita daerah Lamongan yang masih rendah, juga menunjukkan bahwa “pembangunan” hanya terjadi secara natural saja, yang tumbuh berdasarkan pola-pola pertumbuhan wajar tanpa adanya political-will yang terprogram dari birokrasi pemerintahan; sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 di bawah ini, pendapatan per kapita penduduk Lamongan nyaris jatuh pada level subsisten.

Pada tahun 1983 pendapatan per kapita daerah ini hanya Rp. 208.320, tahun 1987 menjadi Rp. 230.120 atas harga konstan atau sebesar Rp. 388.420 atas harga berlaku, dan tahun 1992 naik menjadi Rp. 304.040 atas harga konstan atau sebesar Rp. 681.300 atas dasar harga berlaku. Ada peningkatan signifikan atau kenaikan yang proporsional dari pendapatan penduduk Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1983, di mana banyak saudara Amrozi yang bermigrasi ke Malaysia, memang pendapatan per kapita penduduk masih sangat rendah. Namun, ketika tahun 1992, di mana Amrozi sendiri berhijrah ke negeri jiran Malaysia, masih belum signifikan untuk menjelaskan situasi ini.

Jumlah keluarga miskin dapat ditunjukkan pada prosentase keluarga miskin di Kabupaten Lamongan pada tahun 1999 yang mencapai 50,74 % atau sebanyak 159.988 keluarga dari total keluarga sebanyak 315.331. Bahkan dua tahun sebelumnya (tahun 1997) prosentase keluarga miskin mencapai 54,02 %. Separoh lebih keluarga yang tinggal di Kabupaten Lamongan masih berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mungkin keluarga Amrozi dan sanak-saudara serta handai-taulannya, termasuk dalam hitungan angka kemiskinan ini. Angka tersebut tergolong cukup besar bila dibandingkan dengan daerah yang memiliki karakteristik geografi yang hampir sama dan kabupaten tetangga terdekat yaitu Gresik, yang pada tahun yang sama angka kemiskinannya hanya 24 %.

Kondisi yang demikian menimbulkan dilema bagi penduduknya. Apabila ia bertahan di daerahnya ia tetap berkubang dengan kemiskinan, nasi jagung, atau nasi tiwul. Pada tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1990-an paceklik masih sering melanda daerah ini. Kondisi tanah yang sangat tandus masih diperparah dengan curah hujan yang relatif rendah di Lamongan. Jumlah hari hujan pada tahun 2000 untuk Lamongan hanya 96 hari, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Pacitan yang mencapai 149 hari atau Sumenep yang mencapai 162 hari. Bagi Lamongan yang sangat minim dengan sumber air, jumlah hujan yang sangat sedikit merupakan beban tersendiri bagi wilayah ini. Padahal dengan minimnya sumber air, sebagian besar penduduk sangat menggantungkan hidupnya pada air hujan. Tetapi dengan curah hujan yang rendah maka kebutuhan penduduk akan air pun menjadi semakin sulit.

Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sebagian besar penduduk Lamongan agar bisa keluar dari lilitan kemiskinan dan keterbelakangan adalah keluar dari daerahnya, merantau ke kota-kota besar di Indonesia, atau menjadi tenaga kerja di luar negeri. Profesi yang mereka sandang sangat beragam, tetapi sebagian besar menjadi penjaja (atau penjual menetap kaki lima) makanan seperti soto, nasi goreng, pecel lele, mie, warung kopi dan lain sebagainya. Fenomena ini terjadi di berbagai kota yang menjadi tujuan penduduk Lamongan. Bagi yang bekerja di luar negeri rata-rata berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (bagi perempuan) atau sebagai pekerja bangunan (bagi laki-laki). Tahun 2003, sejak bulan Januari sampai bulan September, daerah ini telah mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri sebanyak 551 orang. Semuanya diberangkatkan ke Malaysia.

Kondisi geografis yang sulit untuk kehidupan mereka, serta bekal keterampilan yang pas-pasan yang mereka peroleh di lembaga pendidikan, menjadikan mereka lebih banyak mencari penghidupan di luar daerah, dalam bidang-bidang tertentu yang cenderung apa adanya. Rata-rata menjadi penjual kaki lima. Amrozi mewakili gambaran umum masyarakat Lamongan. Ia hanya menamatkan pendidikannya di aliyah yang dikelola oleh sebuah pondok pesantren. Ketika kondisi di sekelilingnya tidak bisa memberi jalan hidup yang layak, ia pun merantau ke Malaysia. Semula keluarganya menyangka ia merantau ke Malaysia untuk mencari uang, orang-orang Lamongan menyebutnya nggolek Ringgit (mencari Ringgit ), menyusul kakaknya yang telah lama tinggal di negeri jiran tersebut. Tak hanya mencari Ringgit, Amrozi nampaknya juga memiliki berinteraksi dalam suatu komunitas jamaah yang dulu pernah mengasuhnya di Lamongan yang kemudian dilanjutkan di dalam komunitas pengajian di Malaysia. Dan dalam proses belajar itulah ia menemukan ideologi kekerasan yang terbungkus dalam bingkai agama, jihad.

Jihad, yang oleh kelompok tertentu diartikan sebagai “perang suci” mengandung arti suatu tindakan perlawanan atas pandangan hidup yang berbeda dengan orang lain. Di kalangan Syi’ah bahkan ada yang menganggap jihad itu rukun Islam yang ke enam. Dalam batas tertentu, banyak kalangan fundamentalisme radikal menggunakan jihad untuk memaksakan pandangan mereka atas nama ideologi yang ekstrim dan abstrak. Dengan demikian, negara Islam harus dipersiapkan untuk perang dan orang yang tidak percaya pada Islam harus dipaksa masuk Islam atau dibunuh. Hipotesis ini mungkin perlu dibuktikan, namun apapun itu, ideologi ini tidak tumbuh begitu saja, melainkan tertanam jauh di dasar kesadaran orang-orang yang telah mengalami sejarah panjang kegetiran, kezaliman dan ketidak-pedulian dari aktor-aktor pembangunan yang seharusnya bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan negatif muncul.

Amrozi dalam perjalanan mempelajari agama Islam selama di Malaysia ternyata menemukan ideologi sebagaimana digambarkan di atas. Pertanyaan kita selanjutnya adalah betulkah apa yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya dengan mengebom sebuah bar di Bali adalah semata-mata sebuah tindakan yang dilakukan karena panggilan agama? Seringkali tindakan-tindakan yang dilakukan dengan mengatasnamakan sebuah ideologi yang sangat abstrak apabila ditelusuri secara teliti ternyata berkaitan erat dengan kondisi riil yang sedang dihadapi oleh para pelakunya. Trevor Ling yang pernah melakukan sebuah kajian tentang kekerasaan agama sampai pada sebuah kesimpulan bahwa peperangan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan kekuasaan dan tradisi agama tertentu, sebab-sebab peperangan dan kekerasan hanya dapat dijumpai dalam hubungan dengan kepentingan material.

Berkaitan dengan Amrozi, nampaknya faktor material pula yang mendorong mengapa ia beserta rekan-rekannya melakukan tindakan yang dalam batas-batas tertentu di luar kewajaran. Jika dilihat dari latar belakang ekonominya, Amrozi dan saudara-saudaranya pelaku bom Bali rata-rata berasal dari keluarga miskin. Kondisi keluarga Amrozi tergambar jelas dalam kutipan di bawah ini. “Setelah menikah dengan Choiriyana Khususiyati asal Madiun ia tinggal bersama ibu dan bapaknya. Di bangunan yang terbuat dari kayu bercat biru muda itu berukuran 7 x 10 meter persegi itu tidak ada perabotan istimewa. Di sebelah kiri bangunan induk ada bangunan lain berupa bengkel sepeda motor.” Pemandangan bersahaja inilah yang dalam bahasa ekonomi makro dapat kita sebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang dialami Amrozi, tentulah juga kemiskinan umum yang masih melilit sebagain besar warganya juga telah menjadikan daerah Lamongan sebagai daerah yang rentan terhadap berbagai tindak kejahatan.

Di luar konteks kejahatan terorisme yang telah dilakukan Amrozi, dimensi kejahatan biasa yang sering menempel dalam kondisi kemiskinan di Lamongan ini dapat kita lihat dengan jelas. Kondisi tersebut diperkuat dengan banyaknya perkara pidana yang masuk ke pengadilan negeri Lamongan. Tabel 3 di bawah ini, meskipun menunjukkan kecenderungan umum yang menurun, kejahatan di Lamongan tergolong cukup besar untuk ukuran sebuah kabupaten. Pada tahun 1997 misalnya terdapat 19.133 jenis perkara pidana yang masuk ke pengadilan, tahun 1998 terdapat 14.361 perkara, dan tahun 1999 terdapat 12.931 perkara. Dari tahun 1997 hingga menjelang tahun 2000, sebagaimana kita lihat pada tabel-tabel sebelumnya, menunjukkan korelasi positif dengan membaiknya situasi ekonomi.

Nampaknya ada korelasi yang cukup kuat antara kemiskinan material dengan munculnya radikalisme yang berlindung di balik ideologi agama tertentu. Tindak kekerasan dalam sisi tertentu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengarah kepada reaksi terhadap ketidak-adilan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Satha-Anand tentang tindak kekerasan yang terjadi di beberpa propinsi di Thailand bagian selatan (Pattani, Satun, Narathiwat, Yala) nampaknya membuktikan tesis di atas. Menurutnya bahwa kekerasan yang terjadi di propinsi-propinsi Melayu di Thailand Selatan yang nota benenya adalah daerah muslim, sangat dalam akarnya apabila dilihat dari sudut sosial, budaya, dan sejarah. Kekerasan adalah cermin kerumitan struktural yang mudah menumbuhkan perselisihan, sedang perselisihan itu sendiri disebabkan oleh tiadanya keadilan sosial dan kemiskinan.

Pemikiran tersebut sejalan dengan tulisan Benazir Bhutto dalam The Jakarta Post, 13 Agustus 2004. Menurutnya, saat ini dunia sedang digiring untuk melawan teroris. Paling tidak ada tiga hal kondisi dunia pasca runtuhnya WTC. Pertama, perang melawan akar-akar kaum militan. Kedua, Naiknya perhatian politik terhadap batas-batas keagamaan, dan ketiga tumbuhnya gap antara yang kaya dengan yang miskin. Sementara perhatian global terfokus pada terorisme, krisis kemiskinan tidak diperhatikan. Ia mencontohkan kondisi negaranya, Pakistan. Penghasilan per kapita Pakistan turun tajam, dan di sisi lain kebutuhan hidup naik dengan sangat tajam. Sementara perang terhadap teroris dianggap sebagai perang yang sesungguhnya, tetapi di sisi yang lain keadaan ekonomi masyarakat justru sebaliknya dimana banyak keluarga yang tidak bisa menghidupi keluarganya sendiri. Padahal di sinilah akar munculmnya teroris. Lebih lanjut Benazir mengemukakan bahwa kekecewaan terhadap meningkatnya kemiskinan yang dilandasi ekstremisme agama membuat situasi dunia yang sudah sangat rumit ini semakin kompleks.

Dalam konteks inilah Islam dipakai alat untuk membenarkan tindak kekerasan. Dalam kaitan ini pula, Islam itu sendiri bukan penyebab timbulnya kekerasan. Pertanyaan utama adalah mengapa Islam dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan? Karena pada dasarnya Islam memiliki orientasi bertindak, dalam arti mendorong pengikutnya agar bertindak melawan ketidakadilan. Kunci utamanya adalah ketidakadilan. Kondisi inilah yang juga muncul di Lamongan. Kondisi geografis telah memunculkan ketidakadilan di daerah ini.

Masfuk: Langkah Awal Memberdayakan Lamongan

Lamongan mulai menunjukan perubahan yang signifikan sejak Masfuk terpilih menjadi bupati di daerah ini. Untuk membangun Lamongan Masfuk, memulainya dengan semboyan "bekerja secara profesional" yang dicanangkan pada peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Lamongan ke-432 pada tahun 2001. Harapan ini menyiratkan maksud, bahwa tidak seluruh pembangunan berarti menghasilkan uang, sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran utama, caranya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. Poin meningkatkan kualitas SDM inilah yang sebenarnya tujuan otonomi daerah dalam undang-undang. Dengan memiliki SDM yang berkualitas, pembangunan daerah akan berjalan secara otomatis menuju peningkatan pendapatan asli daerah. Apalagi pembangunannya diarahkan pada kepentingan bisnis. Di sini, Masfuk mengartikan otonomi daerah menjadi menjadi manajemen otonomi. Cara berpikir bisnis dipadukan dalam kepemimpinannya sebagai Bupati Lamongan.

Langkah Masfuk tentu saja terkait erat dengan latar belakang yang bersangkutan yang merupakan pelaku bisnis, dan berasal dari keluarga miskin. Ia mulai menapaki dunia usaha dengan berjualan perhiasan perak sekelas pedagang kaki lima. Krisis ekonomi yang menghebat telah mengantarkannya menjadi pengusaha sukses, ketika bidang usaha lain justru berguguran. Tahun 1997 Masfuk telah berhasil mengembangkan sayap usahanya menjadi 5 bidang usaha dan berhasil menembus pasaran ekspor. Naluri bisnisnya sangat kuat, sehingga mengantarkannya menjadi pengusaha sukses di Indonesia. Naluri bisnis itu juga yang ia bawa ketika menjabat sebagai bupati Lamongan. Dalam membangun Lamongan ia menggunakan konsep “pemerintahan wirausaha” dengan memasukan semangat wirausaha dalam birokrasi, yang karenanya harus dijalankan dengan logika-logika wirausaha (how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector).

Langkah Masfuk ini sangat sesuai dengan ide yang ditelorkan oleh David Obsorne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government. Selain memasukan konsep kewirausahaan dalam birokrasi, ide Obsorne juga terfokus pada penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas. Sebaliknya pemerintah sebaiknya lebih berfungsi sebagai pengendali (steering) daripada sebagai penyedia layanan (rowing) kepada masyarakat.

Dengan model seperti ini maka Masfuk mendekati berbagai problem di daerahnya serta dalam merancang program-program pengembangan daerah Lamongan, dengan gaya dan caranya sendiri. Kemandiriannya sebagai seorang usahawan ia terapkan dalam memimpin daerah. Ia lebih banyak berimprofisasi dari pada terus-menerus menerus menggantungkan diri pada birokrasi, yang ia rasakan akan memperlamban langkah-langkahnya. Ia berangkat dari pengalaman pertama membangun usahanya sendiri dan menerapkan kewirausahaan ini ke dalam sistem birokrasi pemerintahan.

Dengan semboyan “bertindak segera” itu pula ia buka pintu Lamongan lebar-lebar bagi investor yang akan berinvestasi di daerah ini, bahkan ia mencoba menjemput bola. Ia tawarkan potensi daerah Lamongan yang bisa digarap oleh para investor, baik lokal, nasional, bahkan kepada para investor asing. Agar investor tertarik masuk ke Lamongan, tidak segan-segan Masfuk, memoles daerahnya agar investor tertarik menanamkan modalnya. Pada tahap awal tidak kurang dari sepuluh pengusaha/perusahaan besar masuk ke daerah pesisir pantai utara Jawa Timur ini. Bahkan Sorbis dari Singapura tertarik menanamkan modalnya di Lamongan. Pada bulan Agustus 2004, Kabupaten Lamongan akan merealisasikan megaproyek sebesar Rp. 313 milyar yaitu pembangunan galangan kapal dan rumah sakit daerah.

Sukses Masfuk membangun Lamongan tidak bisa dipisahkan dengan naluri yang bersangkutan sebagai mantan pebisnis, serta keterlibatan langsung masyarakat setempat dalam proses pembangunan. Dalam beberapa kasus, pemerintah kabupaten hanya bertindak sebagai pendorong dari proses pembangunan yang tengah berlangsung, sementara pelaksana utamanya adalah masyarakat. Upaya tersebut misalnya diwujudkan dalam membangun pasar-pasar desa di berbagai pelosok Lamongan. Dalam kegiatan ini pemerintah kabupaten hanya memberi pinjaman tanpa bunga kepada desa yang akan membangun atau memperbaiki pasar sebesar Rp. 200 juta. Dana tersebut selanjutnya akan digulirkan kepada desa lain yang membutuhkan. Pasar perlu dibangun karena pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi terpenting untuk daerah-daerah terpencil. Bahkan di berbagai sudut kota Lamongan pun saat ini bermunculan pusat-pusat bisnis dalam skala sedang berupa ruko, yang dalam periode sebelumnya belum pernah ada. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika ekonomi sedang tumbuh di kota ini.

Keterlibat masyarakat yang sangat dominan dalam pembangunan membuktikan bahwa gagasan reinventing government sebagaimana dicetuskan oleh Obsorne dan Gaebler telah dijalankan oleh Masfuk. Dua dari sepuluh prinsip reinventing government menyebutkan, pertama catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya lebih banyak berperan sebagai pengendali daripada sebagai produsen pemberi jasa layanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah harus melepaskan pekerjaan yang sekiranya dapat dikerjakan oleh masyarakat dan pemerintah hanya perlu melakukan pengaturan dan pengendalian. Bukti lain dari implementasi gagasan ini yang dilaksanakan oleh Masfuk adalah apa yang dilihat oleh tim di Kecamatan Sarirejo. Beberapa bulan yang lalu ketika tim mendatangi daerah tersebut, masyarakat setempat bercerita bahwa mereka akan mengeruk dam atas usaha mereka sendiri, sementara pemerintah kabupaten hanya akan menyediakan alat pengeruk. Ternyata program tersebut saat ini sudah terwujud, dan pelaksananya murni swadaya masyarakat yang diberi stimulus oleh pemerintah.

Contoh di atas terkait erat dengan prinsip kedua, yaitu community owned government: empowering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya memberdayakan masyarakat, sehingga partisipasi aktif dan kreatifitas masyarakat berkembang dengan baik dan mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Pengalaman Bupati Lamongan mungkin bisa menjadi contoh yang baik sebagaimana ia ceritakan: “Beberapa waktu yang lalu ketika saya pulang dari kantor, saya hanya ditemani oleh seorang ajudan. Ketika saya melewati sebuah pasar sepeda motor bekas milik PPSM saya turun dari mobil. Orang-orang di situ kaget melihat saya. Mereka menyambut saya dengan antusias. Saya kemudian bertanya kepada mereka: “Apa kira-kira yang bisa saya bantu untuk bapak-bapak di sini.” mereka menjawab bahwa apabila hujan turun tempat itu akan tergenang air, mereka minta agar tempat tersebut di paving block. Dan yang mengejutkan mereka sanggup memasang paving tersebut asal ada bantuan dari pemerintah.”

Di sinilah letak kepiawaian Masfuk dalam merayu masyarakat agar berpartisipasi langsung dalam mengembangkan daerahnya. Ia tidak memanjakannya dengan berbagai pemberian, tetapi ia mencoba mengetuk kesadaran masyarakat agar terjun langsung membangun lingkungannya. Seandainya dibolehkan untuk memberikan satu tesis dalam exploratory ini, mungkin jika Amrozi terlahir dari generasi baru setelah tahun 2000, ia akan urung melakukan aksi radikalnya. Pembangunan hadir di mana-mana, di berbagai sektor, dan hampir tidak ada ruang untuk resistensi bagi siapa pun.

Yang paling kasat mata dari hasil pembangunan saat ini adalah pembangunan sektor perhubungan. Jalan-jalan diperbaiki, diaspal halus. Pada tahun anggaran 2001 pada saat awal Bupati Masfuk menjabat, ia menganggarkan Rp 10,9 miliar untuk membangun dan memperbaiki jalan raya. “Itulah yang diharapkan oleh masyarakat desa. Banyak petani bersepeda kayuh menjual barang dagangan ke kota. Untuk melewati jalan desanya, terkadang sepedanya rusak di tengah jalan karena jalan berlubang-lubang.” Masfuk juga bisa berhasil memperbaiki kualitas jalan. Bagi Masfuk, jalan adalah kebutuhan seluruh masyarakat. Jalan bisa memberdayakan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing masyarakat. Jika saat ini kita jalan-jalan ke berbagai pelosok Lamongan, kita akan merasakan perbedaannya dengan Lamongan sepuluh tahun yang lalu. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan betapa Masfuk telah membuat sebuah gebrakan yang cukup dasyat dalam sektor perhubungan.

Pada tahun 1998 misalnya, panjang jalan dalam kondisi baik 102.808 Km, kondisi sedang 134.204 Km, kondisi rusak 86.396 Km, dan panjang jalan kondisi rusak berat 23.324 Km. Pada tahun 1999 kondisinya menjadi terbalik. Panjang jalan rusak berat menjadi 59.537 Km, kondisi rusak menjadi 97.479 Km, kondisi sedang 102.748 Km, dan jalan dalam kondisi baik tinggal 86.971 Km. Wajah infrastruktur perhubungan yang tidak begitu baik itulah yang mengawali Masfuk bertugas sebagai Bupati Lamongan. Namun berkat usaha kerasnya, kondisi jalan di Lamongan saat ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Panjang jalan dalam kondisi baik bertambah dua kali lipat dibandingkan tahun 1999, menjadi 164.075 Km, kondisi sedang menjadi 157.474 Km, kondisi rusak tinggal 21.082 Km, dan jalan dalam kondisi rusak berat tinggal 4.100 Km.

Pembangunan fisik dan non fisik yang berlangsung sekarang ini, serta berbagai prestasi yang diraih oleh Lamongan mengindikasikan bahwa jargon Orde Baru sebagai pembangun infra struktur paripurna tidak benar. Lamongan membuktikan hal tersebut. Apalagi partisipasi masyarakat dalam membangun Lamongan sangat tinggi. Salah satu bukti nyata tentang hal itu adalah pembangunan waduk rakyat di desa Gempoltukmloko. Sekitar tiga bulan yang lalu ketika tim peneliti mengunjungi desa tersebut upaya untuk mengeruk waduk rakyat masih berupa gagasan. Namun ketika pada awal Agustus tim peneliti mengunjungi desa tersebut, ternyata waduk sudah dikeruk, dan tanah kerukannya diurukkan di lokasi pembangunan pasar. Dalam kasus ini pemerintah kabupaten hanya menyumbang alat pengeruk, sementara tenaganya murni dari warga desa.

Oleh : Purnawan Basundoro (pbasundoro@yahoo.com)

1 Response to "RADIKALISME AGAMA, KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN DI LAMONGAN"

imam mengatakan...

tidak ada relevansi antara kemiskinan dengan sikap dan pandangan seseorang, bahkan Usama bin Laden dari keluarga kaya di Arab Saudi...
Amrozi miskin? kalau miskin mana mungkin mampu beli mobil untuk diledakkan di Bali

Posting Komentar

cinta LA

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes