JAYALAH LAMONGAN MAJULAH TERUS PEMBANGUNAN

sejarah kabupaten nganjuk

C. Berbek,Cikal Bakal Kabupaten Nganjuk

Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I :

Dalam uraian berikut ini lebih banyak menjelaskan tentang

3). Baca Akte Komisaris Daerah-daerah Keraton yang telah diambil alih oleh Residensi Kediri, yang ditandatangani di Semarang oleh Van Lawick Van Pabst. Dalam akte kolektif ini juga ditetapkan personalia pejabat-pejabat Kabupaten yang lain, seperti Patih, Mantrie, Jaksa, Mantri Wedono / Kepala Distrik, mantri Res dan Penghoeloe.

Perjalanan sejarah keberadaan Kabupaten Berbek “cikal bakal” Kabupaten Nganjuk sekarang ini. Dikatakan “cikal bakal” karena ternyata kemudian bahwa alur sejarah kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan Kabupaten Berbek dibawah kepemimpinnan Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1.

Kapan tepatnya daerah Berbek mulai menjadi suatu daerah yang berstatus kabupaten, kiranya masih sulit diungkapkan. Namun dari silsilah keluarga dan catatan:”Peninggalan Kepurbakalaan Kabupaten Nganjuk” tulisan Drs. Subandi, dapat diketahui bahwa bupati Berbek yang pertama adalah KRT. Sosrokoesoemo 1 (terkenal dangan sebutan Kanjeng Jimat). Pada masa pemerintahanya dapat diselesaikan sebuah bangunan masjid yang bercorak hinduistis yang bernama masjid yoni Al Mubaarok. Terdapat sinengkalan huruf arab berbahasa jawa yang berbunyi:



Bagian depan :Ratu Pandito Tata Terus (1759)

Bagian Bawah :Ratu Nitih Buto Murti(1758)

Kanan/kiri: Ratu Pandito Tata Terus (1759)

Belakang: Ratu Pandito Tata Terus (1759)

Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo

Setelah KRT Sosrokoesoemo meninggal dunia tahun 1760 (Leno Sarosa Pandito Iku), sebagai penggantinya adalah Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo. Mendekati tahun 1811, Kabupaen Berbek pecah menjadi 2(dua), yaitu Kabupaten Berbek dan Kabupaten Godean. Sebagai bupati Godean adalah Raden Mas Toemenggoeng Sosronegoro II.

Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II:

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai tindak lanjut adalah perjanjian sepreh tahun 1830, yaitu adanya rencana penataan kembali daerah-daerah dibawah pengawasan dan kekuasaan Nederlandsch Gouverment,dengan SK 31 agustus 1830, ditetapkan bahwa Kabupaten Godean dinyatakan dicabut dan selanjutnya digabung dangan Kabupaten Berbek (yang terdekat). Dengan akte Komisaris daerah-daerah Keraton yang telah diambil alih dan ditandatangani oleh Van Lawick Van Pabst tanggal 16 juni 1831 di Semarang, ditunjuk sebagai bupati Berbek adalah Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II. Dari akte tersebut dapat diketahui bahwa Godean telah berubah statusnya menjadi Distri Godean, yang bersama-sama dengan distrik Siwalan dan distrik Berbek menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Berbek.

Raden Ngabehi Pringgodikdo :

KRT Sosrokoesoemo II(1830-1852)meninggal dunia tanggal 27 agustus 1852 karena menderita sakit paru-paru.yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Raden Ngabehi Pringgodikdo, patih dari luar Kabupaten Ngrowo, yang bukan termasuk garis keturunan / keluarga dari KRT.Sosrokoesoemo II. Pilihan jatuh pada Pringodikdo ini karena putra-putra dari KRT.Sosrokoesoemo II (Bupati yang telah meninggal) dianggap kurang mampu unuk menduduki jabatan bupati tersebut

Sedangkan Pringgodikdo dinilai lebih cakap dan berbudi pekerti yang baik, selain itu mempunyai pengalaman yang cukup daripada calon-calon lain yang diusulkan, sehingga dianggap mampu dan pantas untuk menggantikan KRT. Sosrokoesoemo II almarhum.

Pengangkatan Pringgodikdo sebagai bupati yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral Nederlandsch India di Batavia, tanggal 25 November 1852. selanjutnya, apabila disimak dari isi surat residen Kedirie yang pertama, tanggal 20 September 1852 tetang pertimbangan-pertimbangan terhadap Pringgodikdo untuk diangkat menjadi Bupati Berbek adalah sebagai berikut:

“Kabupaten Berbek penting sekali, juga sangat luas, yang meliuti delapan distrik diwilayahnya, dan berbatasan dangan residen Madiun, Soerabaja, rembang, sehingga Policie disana seharusnya waspada…”

Menurut “Akte Komisaris daerah-daerah Kraton yang telah diambil alih “tanggal 16 Juni1831, bahwa dikabupaten Berbek terdapat 3(tiga) distrik, Kabupaten Nganjuk ada 2(dua) distrik dan Kabupaten Kertosono ada 3(tiga) distrik, sehingga jumlah keseluruhan ada 8(delapan) distrik, sama dengan yang disebutkan dalam SK di atas. Hal ini berarti sebelum KRT.Sosrokoesoemo II meninggal, telah terjadi suatu proses penghapusan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono yang meliputi distrik-distrik: Berbek, Goden, Siwalan (asli dari Kabupaten Berbek), Ngandjoek, Gemenggeng (berasal dari Kabupaten Ngandjoek), Kertosono, Waroe Djajeng, Lengkong (berasal dari Kabupaten Ketosono).

Raden Ngabehi Soemowilojo

Raden Ngabehi Pringgodikdo menjabat sebagai bupati Berbek lebih kurang 14 tahun, yaitu sampai dengan tahun 1866. setelah mangkat digantikan oleh Raden Ngabehi Soemowilojo, patih pada kadipaten Blitar dengan SK Gubernur Jendral Nederlandsch Indie tanggal 3 September 1866 No. 10. selanjutnya dengan SK Gubernur Jendral Nederlandsch Indie tanggal 21 oktober 1866 No.102 dia diberi gelar toemenggoeng dan diijimkan manamakan diri : Raden Ngabehi Soemowilojo.

6. Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo III:

Raden Ngabehi Soemowilojo meninggal dunia tanggal 22 februari 1878. Untuk menduduki jabatan Bupati Berbek yang kosong tersebut telah diangkat Raden Mas Sosrokoesoemo III, Wedono dari Nederlandsch Indie tanggal 10 april 1878 No.9, menjadi Bupati Berbek. Bersama dengan itu diberikan totle jabatan: Toemenggoeng dan diijinkan menuliskan namanya Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo. Pada masa pemerintahan Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo III inilah terjadi suatu peristiwa yang amat penting bagi perjalanan sejarah pemerintahan di Nganjuk hingga sekarang ini. Peristiwa tersebut adalah adanya kepindahan tempat pusat pemerintahan dari kota Berbek menuju kota Nganjuk. Mengenai hal boyongan ini akan diuraikan nanti.

Raden Mas Toemenggoeng Sosro Hadikoesoemo :

Pada tanggal 28 September 1900, RM. Adipati Sosrokoesoemo III karena menderita sakit yang terus menerus sehingga terpaksa memberanikan diri mengajukan permohonan kepada Gubernur Jendral Nederlansch Indie untuk diberhentikan dengan hormat dari jabatan Negara dengan diberikan hak pensiun. Dan selanjutnya, memohon agar karirnya putra laki-laki tertuanya: Raden Mas Sosro Hadikoesoemo menggantikan jabatan sebagai Regent (Bupati) Berbek.

Berdasarkan Besluit Gubernur Jendral nederlansch Indie tanggal 2 Maret 1901 No 10, Pemerintahan Hindia Belanda memberhentiakan R.M. Adipati Sosrokoesoemo dan selanjutnya mengangkat redden Mas Sosro Hadikoesoemo sebagai Regent (Bupati) Berbek dan memberinya gelar Toemenggoeng dan mengijinkan menamakan dan menuliskan:Raden MAs Toemenggoeng Sosro Hadi Koesoemo.

Satu hal penting yang perlu dipehatikan pada masa jabatan RMT. Sosro Hadi Koesoemo ini adalah mulai digunakan sebutan: Regentschap (Kabupaten) Nganjuk, yang pada waktu-waktu sebelumnya masih di sebut Afdelling Berbek (Kabupaten Berbek). Tentang hal ini dapat dilihat pada Regeering Almanak 1852-19420.

Berikut ini adalah nama-nama Bupati Nganjuk setelah Raden Mas Sosro Hadi Koesoemo:

1936 - 1952 : R.T.A. Prswiro Widjojo

1943 - 1947 : R. Mochtar Praboe Maangkoenegoro

1947 - 1949 :Mr.R.Iskandar Gondowardjojo

1949 - 1951 : R.M.Djojokoesoemo

1951 -1955 : K.I Soeroso Atmohadiredjo

1955 -1958 : M. Abdoel Sjukur Djojodiprodjo

1958 -1960 : M. Poegoeh Tjokrosoemarto

1960 -1968 : Soendoro Hardjoamodjojo, SH

1968 - 1943 : Soeprapto,BA

1973 - 1978 : Soeprapto,BA

1978 - 1983 : Drs.SOemari

1983 - 1988 : Drs.ibnu Salam

1988 - 1993 : Drs.ibnu Salam

1933 - 1998 : Drs.Soetrisno R

1998 - 2003 : Drs.Soetrisno R, M.Si

sejarah kabupaten jombang

Jombang termasuk Kabupaten yang masih muda usia, setelah memisahkan diri dari gabungannya dengan Kabupaten Mojokerto yang berada di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromodjojo, yang ditandai dengan tampilnya pejabat yang pertama mulai tahun 1910 sampai dengan tahun 1930 yaitu : Raden Adipati Ario Soerjo Adiningrat.


Menurut sejarah lama, konon dalam cerita rakyat mengatakan bahwa salah satu desa yaitu desa Tunggorono, merupakan gapura keraton Majapahit bagian Barat, sedang letak gapura sebelah selatan di desa Ngrimbi, dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan "Mojo" (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi).

Salah Satu Peninggalan Sejarah di Kabupaten JombangCandi Ngrimbi, Pulosari Bareng Bahkan di dalam lambang daerah Jombang sendiri dilukiskan sebuah gerbang, yang dimaksudkan sebagai gerbang Mojopahit dimana Jombang termasuk wewenangnya Suatu catatan yang pernah diungkapkan dalam majalah Intisari bulan Mei 1975 halaman 72, dituliskan laporan Bupati Mojokerto Raden Adipati Ario Kromodjojo kepada residen Jombang tanggal 25 Januari 1898 tentang keadaan Trowulan (salah satu onderdistrict afdeeling Jombang) pada tahun 1880.

Sehingga kegiatan pemerintahan di Jombang sebenarnya bukan dimulai sejak berdirinya (tersendiri) Kabupaten jombang kira-kira 1910, melainkan sebelum tahun 1880 dimana Trowulan pada saat itu sudah menjadi onderdistrict afdeeling Jombang, walaupun saat itu masih terjalin menjadi satu Kabupaten dengan Mojokerto. Fakta yang lebih menguatkan bahwa sistem pemerintahan Kabupaten Jombang telah terkelola dengan baik adalah saat itu telah ditempatkan seorang Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda yang kemungkinan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang Lebih-lebih bila ditinjau dari berdirinya Gereja Kristen Mojowarno sekitar tahun 1893 yang bersamaan dengan berdirinya Masjid Agung di Kota Jombang, juga tempat peribadatan Tridharma bagi pemeluk Agama Kong hu Chu di kecamatan Gudo sekitar tahun 1700.

Konon disebutkan dalam ceritera rakyat tentang hubungan Bupati Jombang dengan Bupati Sedayu dalam soal ilmu yang berkaitang dengan pembuatan Masjid Agung di Kota Jombang dan berbagai hal lain, semuanya merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal-awal suatu tata pemerintahan di Kabupaten Jombang

sejarah kabupaten jember

KABUPATEN Jember yang terletak 250 km dari ibu kota propinsi Jawa Timur, Surabaya, merupakan kabupaten yang mengandalkan pendapatannya dari sektor pertanian. Wilayah kabupaten Jember merupakan pedesaan.

Berdasarkan Staatsbland Nomor: 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukum, maka pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintah desentralisasi di wilayah Propinsi Jawa Timur. Antara lain dengan menunjuk REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri. Secara resmi ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintah Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, 21 Agustus 1928.

Mempelajari konsideran Staatsbland No. 322 tersebut, diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kabupaten Jember menjadi kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri dilandasi dua macam pertimbangan yaitu:

Pertama, Pertimbangan Yuridis Konstitusional, yaitu dengan menunjuk pada Indiche Staatsegeling (IS), suatu Undang Undang Pokok yang berlaku bagi negara jajahan Wilayah Hindia Belanda khususnya pasal 112 ayat pertama.

Kedua, Pertimbangan Politis Sosiologi, yaitu dengan mendengarkan persidangan antara Pemerintah Hindia Belanda dalam menentukan kebijaksanaannya, memanfaatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Hal ini bisa dibuktikan bahwa dari 33 anggota persidangan yang diketuai oleh Bupati pada waktu itu (Noto Hadinegoro), sejumlah 24 di antara mereka adalah orang-orang pribumi. Yang unik dan menarik lagi adalah, Pemerintah Regenschap Jember diberi beban pelunasan hutang-hutang berikut bunganya sepanjang menyangkut tanggungan Regenschap Jember.

Dari artikel ini dapat dipahami bahwa dalam pengertian masyarakat hukum yang berdiri sendiri, tersirat adanya hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sebutan regenschap atau kabupaten sebagai wilayah administratif serta sebutan regent atau Bupati sebagai Kepala Wilayah Kabupaten, diatur dalam artikel 7. Demikian juga pemisahan secara tegas antara Jember dan Bondowoso sebagai bagian dari wilayah yang lebih besar, yaitu Besuki dijelaskan pada artikel 7 ini.

Pada ayat 2 dan 4 artikel 7 ini disebutkan bahwa ayat 2 artikel 121 Ordonasi Propinsi Jawa Timur adalah landasan kekuatan bagi pembuatan Staatsbland tentang pembentukan Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur. Semua ketentuan yang dijabarkan dalam staatsbland ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1929. Ini disebutkan pada artikel terakhir dari staatsbland ini. Hal inilah yang memberikan keyakinan kuat kepada kita bahwa secara hukum Kabupaten Jember dilahirkan 1 Januari 1929 dengan sebutan "REGENSCHAP DJEMBER".

Sebagaimana lazimnya sebuah peraturan perundang-undangan, supaya semua orang mengetahui maka ketentuan penataan kembali pemerintah desentralisasi Wilayah Kabupaten Jember yang pada waktu itu disebut regenschap, dimuat juga dalam Lembaran Negara Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya perlu diketahui pula bahwa, Staatsbland No. 322/1928 di atas ditetapkan di Cipanas, Jawa Barat oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan suatu Surat Keputusan No. IX, 9 Agustus 1928.

Pada perkembangannya dijumpai perubahan-perubahan sebagai berikut.

Pemerintah Regenschap Jember yang semula terbagi menjadi tujuh Wilayah Distrik pada tanggal 1 Januari 1929 sejak berlakunya Staatsbland No. 46/1941 tanggal 1 Maret 1941 maka Wilayah Distrik dipecah-pecah menjadi 25 Onderdistrik, yaitu:

* Distrik Jember, meliputi onderdistrik Jember, Wirolegi dan Arjasa
* Distrik Kalisat, meliputi onderdistrik Kalisat, Ledokombo, Sumberjambe dan Sukowono o Distrik Rambipuji, meliputi onderdistrik Rambipuji, Panti, Mangli dan Jenggawah
* Distrik Mayang, meliputi onderdistrik Mayang, Silo, Mumbulsari dan Tempurejo
* Distrik Tanggul meliputi onderdistrik Tanggul, Sumberbaru dan Bangsalsari
* Distrik Puger, meliputi onderdistrik Puger, Kencong Gumukmas dan Umbulsari
* Distrik Wuluhan, meliputi onderdistrik Wuluhan, Ambulu dan Balung.

Perkembangan perekonomian begitu pesat, mengakibatkan timbulnya pusat-pusat perdagangan baru terutama perdagangan hasil-hasil pertanian, seperti padi, palawija dan lain-lain, sehingga bergeser pulalah pusat-pusat pemerintah ditingkat distrik, seperti distrik Wuluhan Balung, sedangkan distrik Puger bergeser ke Kencong.

Berdasarkan Undang Undang No.12/1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten di Jawa Timur, menetapkan pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur (dengan Perda) antara lain Daerah Kabupaten Jember ditetapkan menjadi Kabupaten Jember.

Dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976 tanggal 19 April 1976, maka dibentuklah Wilayah Kota Jember dengan penataan wilayah-wilayah baru sebagai berikut:

* Kacamatan Jember dihapus,
* Dibentuk tiga kecamatan baru, masing-masing Sumbersari, Patrang dan Kaliwates, sedang Kecamatan Wirolegi menjadi Kecamatan Pakusari dan Kecamatan Mangli menjadi Kecamatan Sukorambi.

Bersamaan dengan pembentukan Kota Administratif Jember, Wilayah Kewedanan Jember bergeser pula dari Jember ke Arjasa yang wilayah kerjanya meliputi Arjasa, Pakusari dan Sukowono yang sebelumnya masuk Distrik Kalisat. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, pada perkembangan berikutnya maka secara administratif, Kabupaten Jember saat ini terbagi menjadi tujuh Wilayah Pembantu Bupati, satu Wilayah Kota Adminis-tratif dan 31 Kecamatan, yaitu:

* Kota Administratif Jember, meliputi Kec. Kaliwates, Patrang dan Sumbersar
* Pembantu Bupati di Arjasa, meliputi Kec. Arjasa, Jelbuk, Pakusari dan Sukowono
* Pembantu Bupati di Kalisat, meliputi Kec. Ledokombo, Sumberjambe dan Kalisat; Pembantu Bupati di Mayang, meliputi Kec. Silo, Mumbulsari dan Tempurejo
* Pembantu Bupati di Rambipuji, meliputi Kec. Rambipuji, Panti, Sukorambi, Ajung dan Jenggawah
* Pembantu Bupati di Balung meliputi Kec. Ambulu, Wuluhan dan Balung
* Pembantu Bupati di Kencong, meliputi Kec. Kencong, Jombang, Umbulsari, Gumukmas, dan Puger
* Pembantu Bupati di Tanggul, meliputi Kec. Sembaro, Tanggul, Bangsalsari dan Sumberbaru.

Namun dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001 sebagai tuntutan No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Jember juga telah melakukan penataan kelembagaan dan struktur organisasi, termasuk dihapusnya lembaga Pembantu Bupati yang kini menjadi Kantor Koordinasi Camat.

Kemudian dalam menjalankan roda pemerintah di era Otonomi Daerah ini Pemerintah Kabupaten Jember dibantu empat Kantor Koordinasi Camat, masing-masing:

* Kantor Koordinasi Camat Jember Barat di Tanggul
* Kantor Koordinasi Camat Jember Selatan di Balung
* Kantor Koordinasi Camat Jember Tengan di Rambipuji
* Kantor Koordinasi Camat Jember Timur di Kalisat

Sementara lembaga yang baru dibentuk berkaitan dengan Otonomi Daerah, meliputi enam badan, 21 Dinas dan sembilan kantor, sedang Sekretariat Daerah membawahi 10 bagian. Dengan mengacu pada kajian tersebut di atas, maka tepat pada hari jadi ke-72 Kabupaten Jember memasuki babak baru dalam sistem desentralisasi atau Otonomi. Kabupaten ini memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai keinginan dan aspirasi rakyatnya sesuai per-aturan perundangan yang berlaku.*


Sumber By :http://cujember.blogspot.com

Sejarah Kabupaten Banyuwangi

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.



Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).



Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).



Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.



Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

Sejarah Kabupaten Sidoarjo

Pada tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh seorang Putera dari hasil perkawinan antara Puteri Mahandradata dengan Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga, pada waktu pemerintahan Airlangga, keadaan negara tentram, keamanan terjamin, dan negara mengalami kemajuan yang pesat. Karena raja Airlangga mempunyai 2 orang putera, maka pada akhir masa pemerintahannya ia memandang perlu membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua putranya, agar dikemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian itu terjadi pada tahun 1042, yaitu menjadi kerajaan Daha (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala yang berdiri pada tahun 1024 terletak di daerah delta Brantas, yaitu meliputi pesisir utara seluruhnya, dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai besar, sedangkan ibukotanya berada di sekitar Kecamatan Gedangan sekarang. Lain halnya dengan Kerajaan Kediri, tidak memiliki bandar sebuahpun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya semua itu tidak dapat diperdagangkan karena kerajaan kediri tertutup dari laut sebagai jalan perdagangan pada waktu itu. Maka timbullah perebutan bandar antara kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, dimana keduanya menuntut kekuasaan atas kerajaan Airlangga.Perang tersebut berakhir dengan kekalahan kerajaan Jenggala, pada tahun 1045(menurut sumber lain Kerajaan Jenggala pada tahun 1060 masih ada)

Semula, tepatnya pada tahun 1851 daerah Sidoarjo bernama Sidokare, bagian dari kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibatu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan, putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean (sebelah selatan Pasar Lama sekarang), beliau medirikan masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang),sedang alun-alunya pada waktu itu adalah Pasar Lama. Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara resmi terbentuknya Daerah Kabupaten Sidoarjo adalah tangal 28 Mei 1859 dan sebagai Bupati I adalah R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian karena suatu hal maka Bupati Tjokronegoro I dipindahkan ke Kampung Pucang (Wates). Disini beliau membangun masjid Jamik yang sekarang ini (Masjid Agung), tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, sedang di sebelah Baratnya dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak alnarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan. Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan - pembangunan mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem, disamping itu dibangun pula Kampung Magersari sebelah Barat Kabupaten, yang kemudian ditempatkan disitu orang-orang Madura. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro mendapat pensiun, yang tak lama kemudian pada tahun sama beliau wafat, dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Selanjutnya dalam tahun1883 itu diangkat R.A.A.T. Tjondronegoro I ini dapatlah dicatat sebagai berikut :

* Dalam Bidang Pembangunan
o Penyempurnaan Masjid Jamik yang telah dibangun oleh para Bupati terdahulu yaitu diperluas dan diperindah dengan pemasangan marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang)
* Dalam Bidang pemerintahan
o Susunan Pemerintahan (Hierarchie) pada waktu itu di Kabupaten Sidoarjo dibagi menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu :
1. Kawedanan Gedangan
2. Kawedanan Sidoarjo
3. Kawedanan Krian
4. Kawedanan Taman Jenggolo
5. Kawedanan Porong Jenggolo
6. Kawedanan Bulang

Nama-nama Kawedanan tersebut ternyata masih memakai nama-nama pada waktu Kerajaan Jenggal dahulu.


Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.

Pemerintahan Republik Indonesia. Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ) yang dengan rela menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. Badan-badan bersenjata mulai dibentuk dengan nama B.K.R dan P.T.K.R. Diantara badan-badan bersenjata tersebut yang paling berkuasa didaerah kita pada waktu itu ialah P.T.K.R. dibawah pimpinan Mayor Sabarudin. Pembunuhan-pembunuhan dijalankan terhadap mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Karena tindakannya yang melampui batas maka oleh pihak pimpinan yang tertingggi dianggap perlu untuk melucuti senjata P.T.K.R. yang ada dibawah pimpinan Sabarudin tersebut. Akhirnya kekuasaan Sabarudin dkk. dapat dilumpuhkan.

Permulaan bulan Maret Belanda mulai aktif dengan usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah kita. Waktu Belanda menduduki Gedangan, Pemerintah memandang perlu memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong. Tetapi masih ada pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di kota Sidoarjo sebagai wakil dari Pemerintahan. Kemudian di Candi di bentuk Markas Gabungan sebagai pertahanan. Pada waktu itu derah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dijalankan dari jurusan Tulangan. Maka pada hari itu juga Daerah Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Daerah Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.

Sesudah negara Jawa Timur dibentuk, daerah Brantas masuk daerah Boneka tersebut. Pada waktu itu Bupati R.I adalah : K. Ng. Soebekti Poespanoto. R. Soeharto. Tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kembali kepada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.

Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah pedalamanan. Seperti kita ketahui kota Surabaya adalah termasuk kota yang terbesar di Asia Tengara, sehingga tidak luput dari intaian negara-negara asing yang ingin menyebarkan ideologinya didaerah Indonesia. Karena itu daerah Sidoarjo juga menghadapi segala macam infiltrasi, terutama dari pihak yang tidak menyukai adanya Republik Indonesia.

Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di daerah-daerah. Kekacuauan- kekacuauan itu terutama disebabkan dari usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan Republik Indonesia. Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan Lurah lainnya yang menjadi alat Malik. Senjata yang mereka gunakan ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga : Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk daerah operasinya. Berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan Tentara, maka kira-kira dalam pertengahan bulan Mei 1951, kekacauan mulai dapat diredakan, Malik tertangkap di daerah Bangil pada tanggal 12 Mei 1951. Operasi-operasi dimana-mana dijalankan terus, dan baru pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat dikatakan aman dan terkendali. Pemerintahan lambat laun berjalan lancar kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Akhirnya sebagai kelengkapan dari cuplikan baru sejarah Kabupaten Sidoarjo dan untuk diketahui oleh masyarakat, maka perlu kami kutipkan nama-nama para Bupati Sidoarjo sejak pertama hingga sekarang

Sejarah Kabupaten Tingkat II Mojokerto

Dengan melihat sinyal pada pasal-pasal dua Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 22/Tap/Kdh/1973 tanggal 12 September 1973, bahwa Ketetapan tentang hari jadi tersebut bersifat sementara, maka pada masa kepemimpinan Bupati Mojokerto H. Mahmoed Zain, SH, M Si sejak awal menjabat, mulai mengadakan pendekatan, mengingat hari jadi Kabupaten Mojokerto yang telah ditetapkan pada Mojokerto yang mempunyai akar sejarah berkaitan erat dengan kebesaran Kerajaan Mojopahit. Maka mulailah dilakukan berbagai upaya untuk menelusuri hari jadi Mojokerto yang lebih berakar kepada perjuangan para pendahulu bangsa ketika pada saat kejayaannya, untuk dijadikan semangat dalam membangun dan mengabdi kepada Negara dan Bangsa saat ini serta dapat memberikan gambaran untuk mampu memberikan loncatan prestasi dimasa mendatang dengan menggali potensi yang ada di daerah.

Upaya pendekatan tersebut antara lain :

1. Pada tanggal 20 Agustus 1991 dilaksanakan “Seminar Sehari” dengan thema “Kabupaten Mojokerto Menyongsong Hari Esok”
2. Pada tanggal 8 September 1992, dilaksanakan simposium Menyongsongg Tujuh Abad Mojopahit, yang dihadiri oleh Bapak Sekjen Depdagri, Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Timur, Javanologi Surabaya, Pakar-pakar sejarah baik yang datangnya dari Kabupaten Mojokerto sendiri maupun dari luar daerah.
3. Disamping itu, berbagai pihak telah memberikan sumbang saran seperti dari kalangan Cerdik Cendikiawan, dari perguruan tinggi dari instansi baik yang datangnya dari Kabupaten Mojokerto sendiri maupun dari luar daerah.
4. Pembentukan Tim Penulisan Sejarah dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 438 Tahun 1992 tentang Pembentukan Tim Penulisan Sejarah Mojokerto.

Dengan memperhatikan rentetan peristiwa yang terjadi maka dapat ditetapkan 8(delapan) alternatif untuk dipertimbangkan sebagai Hari Jadi Mojokerto yaitu :

1. Pertemuan antara Perdana Menteri Mojopahit, Shi - nan - da - cha - ya dengan shih-pi, Panglima tertinggi pasukan Tar-Tar, dapat dipandang sebagai wujud pengakuan diplomatik atas Negara berdaulat dalam rangka kerjasama Internasional untuk menyerang Doho. Hal ini akan mengacu pada tanggal 1 bulan ke 3 Tarikh Cina atau tanggal 8 April 1293.
2. Pada saat Raden Wijaya mulai mengatur strategi untuk melawan pasukan Tar-tar, saat ia memperoleh ijin dari kota Kediri ke Mojopahit pada tanggal 2 bulan ke 4 Tarikh Cina. Titik waktu ini merupakan titik awal kemenangan diplomatik dan militer dipihak Raden Wijaya, karena mulai saat tersebut secara bertahab ia berhasil mengalahkan pasukan Tar-Tar. Dalam Tarikh Masehi peristiwa tersebut adalah tanggal 9 Mei 1293.
3. Titik waktu tentara Mojopahit memperoleh kemenangan total terhadap pasukan Tar-tar. ini berarti mengacu pada keputusan pimpinan pasukan Tar-tar untuk meninggalkan Pat-shieh, pada tanggal 24 bulan 4 Tarikh Cina atau tanggal 31 Mei 1293. Titik waktu ini ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
4. Titik waktu penobatan Raden Wijaya sebagaimana diceritakan pada Kitab Harsa Wijaya atau Titik waktu penerbitan Prasasti Gunung Botak.
5. Dari Khasanah Kidung, juga menunjukkan titk waktu peristiwa penting dalam sejarah Mojopahit.
6. Dari khasanah prasasti juga ditemukan titk waktu peristiwa yang erat kaitannya dengan sejarah Mopahit. Kidung Harsa Wijaya menyebutkan bahwa Penobatan Raden Wijaya sebagai Raja Terjadi pada tanggal 12 Nopember 1293 (1215 C). Titik waktu ini dikemudian dikenal sebagai Hari Mojopahit. Prasasti Gunung Botak yang diterbitkan pada tanggal 11 September 1294 memberitakan secara panjang lebar riwayat Rajakuta Mojopahit.
7. Perjanjian Gianti yang tangani pada tanggal 13 Pebruari 1755.
8. Saat ditanda tangani penyerahan Kabupaten Japan pada tanggal 1 Agustus 1812 oleh Kesultanan Jogyakarta kepada Perintah Inggris di Jawa.

Selanjutnya setelah melalui proses pembahasan didalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Mojokerto, mengenai Hari Jadi Kabupaten Mojokerto telah disepakati bahwa Hari Jadi Kabupaten Mojokerto adalah tanggal 9 Mei 1293 Masehi, dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor : 09 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993, tentang persetujuan Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Mojokerto saat itu H. Mahmoed Zain, SH mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor : 230 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto.

Dari uraian-uraian tersebut diatas disimpulkan bahwa :
Dengan tidak diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto tanggal 12 September 1973 Nomor : 22/TAP/Kdh/1973 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Hari jadi Mojokerto adalah tanggal 09 Mei 1293 Masehi yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari jadi Kabupaten Mojokerto.

Nama-nama Bupati Mojokerto :
1811-1827 : R. Adipati Prawirodirdjo
1827-1850 : R. AdipatiTjondroNegoro
1850-1863 : R. Tumenggung Pandji Tjondro Negoro
1863-1866 : R. Tumenggung Kertokusumo
1866-1894 : R. Adipati Ariokromodjojo Adinegoro
1894-1916 : Putera R.A.A Kromodjojo Adinegoro
1916-1933 : R. Adipati Kromo Adinegoro
1933-1935 : M.Ng. Rekso Arnitprodjo
1935-1945 : R.T.A.A. Rekso Amitprodjo
1945-1947 : Dokter Soekandar
1947-1948 : M. Pamudji
1948-1949 : RT.A.A. Rekso Amitprodjo
1949-1950 : R. Amin Noto Widjojo
1950-1958 : R. Soeharto
1958-1965 : R. Ardi Sriwidjaja
1965-1974 : R. Achmad Basoeni (Mayor Inf)
1974-1975 : K Supeno Soerjoatmodjo
1975-1985 : H.D. Fatchoerrochman
1985-1990 : Drs. Koento Soetedjo
1990-2000 : Machmoed Zain, SH
2000-2005 : DR. H Achmady, M.Si, MM
2005-2010 : DR. H Achmady, M.Si, MM

Sumber : Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia

—————————————————————-

Sejarah Kota Mojokerto

Pembentukan Pemerintah Kota Mojokerto melalui suatu proses kesejahteraan yang diawali melalui status sebagai staadsgemente, berdasarkan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda Nomor 324 Tahun 1918 tanggal 20 Juni 1918.

Pada masa Pemerintahan Penduduk Jepang berstatus Sidan diperintah oleh seorang Si Ku Cho dari 8 Mei 1942 sampai dengan 15 Agustus 1945.

Pada zaman revolusi 1945 - 1950 Pemerintah Kota Mojokerto didalam pelaksanaan Pemerintah menjadi bagian dari Pemerintah Kabupaten Mojokerto dan diperintah oleh seorang Wakil Walikota disamping Komite Nasional Daerah.

Daerah Otonomi Kota Kecil Mojokerto berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950, tanggal 14 Agustus 1950 kemudian berubah status sebagai Kota Praja menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 berubah menjadi Kotamadya Mojokerto. Selanjutnya berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Mojokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Selanjutnya dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Mojokerto seperti Daerah-Daerah yang lain berubah Nomenklatur menjadi Pemerintah Kota Mojokerto.

Sumber : Situs Pemerintah Kota Mojokerto

SEJARAH KOTA PASURUAN

PASURUAN adalah kota Bandar kuno. Pada jaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasa warsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).

Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) himgga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686 Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel Surabaya. Pada saat dihadiahkan Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809 Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.

RADIKALISME AGAMA, KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN DI LAMONGAN

Amrozi: Gambaran Kemiskinan Lamongan

Lamongan —sebuah kabupaten miskin di Jawa Timur — tiba-tiba mendapat perhatian luas tidak hanya publik nasional, namun juga internasional. Karena dari daerah inilah seorang tokoh radikal Islam bernama Amrozi berasal. Ia dan beberapa saudaranya, melakukan aksi terorisme bom Bali yang terdahsyat pengaruhnya dalam sejarah Indonesia. Mata dunia tertuju ke Lamongan bukan hanya karena ia berasal dari sebuah daerah miskin di Jawa Timur, melainkan karena ternyata jaringan kerja terorisme Amrozi dan saudara-saudaranya tidak cuma mencakup Indonesia, melainkan menjadi bagian dari jaringan terorisme internasional yang tidak bisa diremehkan.

Melihat Lamongan —yang lama terasuh di bawah Islam tradisional yang sejuk dan pasifis— banyak orang ingin menemukan jawaban mengapa radikalisme tumbuh dan eksis di sana. Martin van Bruinessen, menyebutkan, bahwa agama punya peran yang paling sentral dalam kehidupan kaum miskin dan mereka yang tersisihkan dari kehidupan politik sehingga memunculkan gerakan-gerakan sempalan, fundamentalisme dan radikalisme. Lamongan, sebagai bagian dari kultur Islam Jawa Timur, yang menurut Bruinessen, Islamnya lebih lemah dari Jawa Barat , ternyata memiliki derajat radikalisme yang mungkin bisa disetarakan dengan sejumlah radikalisme di masyarakat Sunda pada tahun 1888 dan 1949 di Jawa Barat. Namun, Lamongan dengan latar-belakang kultur, sejarah, ekonomi, sosial dan politik perlu penjelasan khusus tentang mengapa radikalisme muncul di sini.

Dalam kepustakaan tentang munculnya gerakan Islam radikal di Iran, Turki dan Mesir pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, salah satu penjelasan yang sering diutarakan adalah migrasi massa dari desa dan kota kecil ke kota-kota besar atau ke pusat-pusat perputaran ekonomi yang lebih intens. Dikatakan, gerakan-gerakan Islam radikal itu mewakili terutama para pendatang baru ke kota besar yang “tidak berhasil mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan budaya dan ekonomi kota besar dan mengalami alienasi yang parah.” Lamongan dengan Amrozi, oleh karenanya, mungkin menarik untuk dikaji dari pertautan ini ke ujung yang lain, tetapi dengan memulai mengkaji para pendatang yang gagal di kota-kota besar dan mengamati bagaimana pengalaman mereka tersebut mempengaruhi keyakinan dan perilaku keagamaan mereka.

Bruinessen, selain mempertimbangkan pengaruh migrasi ke kota, atau ke pusat-pusat di mana uang sebagai materi terpenting dalam kehidupan yang semakin komersil sekarang ini berada; ia juga mempreskripsikan bahwa “orang-orang radikal harus dicari bukan di kalangan mereka yang paling miskin dan paling marjinal dalam masyarakat, tetapi di kalangan mereka yang lebih berada, berpendidikan tinggi dan punya ambisi yang lebih besar.” Lamongan, pada waktu setting sejarah masa lampau Amrozi dicoba rekonstruksikan secara singkat oleh banyak media, kita baru menyadari bahwa kehidupan Amrozi, sanak saudara dan handai-taulannya, secara bersama menawarkan gambaran yang sangat menarik tentang sejarah modernisasi Indonesia pada periode akhir Orde Baru.

Kehadiran Amrozi, dalam gambaran sejarah regional dan spesifik ini, memberikan pandangan yang kontras dengan sejarah yang ditulis pada umumnya. Sejarah Lamongan pada periode Amrozi, tidaklah memusat pada perhatian akan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh formal penting tertentu. Sejarah sosial Lamongan, dengan adanya tokoh yang tidak formal dan tidak penting seperti Amrozi, dalam perspektif Bruinessen, adalah “sejarah dari bawah”; sejarah sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang seringkali berada di pihak yang kalah. Sejarah ekonomi pertanian juga memperlihatkan bahwa Lamongan, yang jika kita lihat dari perspektif “agricultural involution” Clifford Geertz, adalah “inner Indonesia”, daerah terbelakang dalam pembangunan (underdevelopment), minim dengan sumber daya alam yang bisa diolah untuk menopang tingkat konsumsi yang tinggi dari populasi yang terus bertambah pesat.

Dalam sejarah kolonial Belanda, karena peranannya yang economically unessential inilah Lamongan terbebas dari politik Tanam Paksa (cultuurstelsel). Lamongan diuntungkan secara ekologis ditinjau dari perspektif ini; suatu daerah yang bebas dari politik tanam paksa karena kondisi tanahnya yang kurang subur. Namun, untuk tinjauan ekonomi pasca-kemerdekaan, beberapa tanaman yang merupakan tanaman wajib pada masa Sistem Tanam Paksa dicobakan di daerah ini tapi tidak pernah membuahkan hasil ini berdampak kurang beruntung bagi pertumbuhan regional ekonomi di negara yang masih agraris ini. Tanahnya yang tandus, terdiri dari sedimentasi tanah kapur dan batu padas telah menyebabkan sulitnya daerah Lamongan ditanami tanaman yang bisa menghasilkan pada masa kolonial Belanda, menyebabkan kultur dan pandangan hidup penduduknya berubah dari inward-looking ke outward-looking. Migrasi penduduk ke berbagai wilayah perkotaan yang lebih menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi inilah yang telah mendorong generasi sebaya Amrozi keluar dari Lamongan.

Hingga pada periode Orde Baru —yang sering mengklaim dirinya sebagai Orde Pembangunan— tanaman pertanian milik penduduk di Lamongan sering mengalami kegagalan panen dalam setiap tahunnya. Pada musim penghujan kegagalan disebabkan karena hujan, sedang pada musim kemarau disebabkan karena kekurangan air dan terserang hama seperti mentek dan beluk, seakan Orde Pembangunan tidak mampu menjulurkan tangan birokrasi developmentalisnya ke Lamongan. Sebagian besar usaha pertanian penduduk sebagian besar bergantung pada hujan, sebagain besar sawah yang ada di daerah Lamongan adalah sawah tadah hujan. Hujan yang tidak pernah setetes pun dihasilkan dari trickle-down effect pembangunan Orde Baru ini, memberikan pandangan tentang betapa besarnya rahmat Tuhan. Mungkin dari kondisi inilah kemunculan radikalisme agama yang diusung Amrozi dan saudara-saudaranya bisa dijelaskan.

Latar-belakang ini dicoba jelaskan dengan menggunakan angka-angka tentang pendidikan dan hubungannya dengan agama. Banyaknya imigran Lamongan yang terjun ke dalam sektor informal tentu saja terkait erat dengan tingkat pendidikan yang mereka terima. Dengan tidak mengabaikan kualitas pendidikan pesantren, sebagian besar masyarakat Lamongan hanya mengenyam pendidikan di pesantren, yang dalam hal tertentu lembaga pendidikan tersebut ternyata tidak memberi bekal ketrampilan yang cukup dalam bidang-bidang “keduniaan” karena arah pendidikan mereka memang ditujukan untuk penguasaan ilmu-ilmu agama. Pada tahun 2003 misalnya jumlah masyarakat yang menimba ilmu di pondok pesantren (santri) yang tersebar di Lamongan mencapai angka 59.252 orang. Apabila jumlah tersebut ditambah dengan siswa madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah) yang dikelola oleh pondok pesantren maka jumlahnya akan menjadi 122.496 orang. Jumlah tersebut memiliki selisih yang tidak terlalu besar dengan jumlah siswa di sekolah-sekolah umum yang mencapai 139.655 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lamongan hampir separuhnya memilih memasukan anak-anaknya ke lembaga pesantren dari pada menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan umum.

Berkah agamalah yang masih tetap memelihara kelangsungan hidup rakyat di Lamongan menghadapi kerasnya kondisi alam. Kondisi seperti itu tetap berlangsung sampai saat ini. Data tahun 2003 menunjukkan dari 84.672 hektar sawah yang ada di Lamongan, 33.941 hektar adalah sawah tadah hujan. Di beberapa desa di Lamongan Selatan sebagian besar penduduknya juga menggantungkan air hujan untuk kebutuhan sehari-harinya seperti untuk mandi dan minum. Kondisi alam yang kurang ramah telah menyeret sebagain besar masyarakat Lamongan berkubang di dalam lumpur kemiskinan.

Perubahan mulai terjadi pada masa reformasi, terutama di bawah kepemimpinan Bupati Masfuk di mana Lamongan telah berkembang menjadi salah satu kabupaten yang terkemuka dalam hal pembangunan sarana dan prasarana fisik di Indonesia. Sejak pertama kali dilantik menjadi Bupati Lamongan pada tahun 2000, Masfuk, seakan tidak pernah berhenti melakukan berbagai terobosan untuk memajukan daerahnya, utamanya menggenjot sektor riil yang pernah terpuruk akibat diterjang badai krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi Masfuk, dengan mengarahkan programnya pada sektor riil maka ekonomi rakyat akan dapat ditingkatkan, dan dengan demikian maka kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan pula. Masfuk, telah melakukan transformasi radikal masyarakat dan daerah Lamongan.

Untuk melihat transformasi ini terjadi di Lamongan, kita harus menengok ke belakang di mana banyak orang pada awalnya tidak mengenal sama sekali daerah Lamongan, mendengar nama tersebut pun mungkin asing. Lamongan hanyalah sebuah kota kecil di Indonesia, seakan tidak ada yang bisa dibanggakan di atas dan di dalam tanah tandus daerah ini. Lamongan menemukan momentumnya beberapa saat setelah meletus bom di Bali. Namanya kemudian melejit, menghiasai koran-koran lokal, nasional, bahkan internasional. Nama Lamongan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ledakan bom di Bali, karena ternyata para aktor di balik ledakan itu adalah warga Lamongan. Dunia pun terhenyak, ternyata dari daerah sekecil Lamongan muncul sekelompok orang yang mampu memalingkan pandangan dunia ke tanah kering kerontang, yang di sana-sini terlihat bekas-bekas kerusakan ekologis.

Lamongan sebelumnya tidak pernah terkenal, karena daerah ini miskin, tidak berprestasi, dan terbelakang. Hutan-hutan pun meranggas akibat desakan pertumbuhan penduduk yang memanfaatkan potensi hutan yang melebihi carrying-capacity. Namun sebenarnya, di balik fenomena Amrozi dan kawan-kawan, Lamongan saat ini adalah daerah yang sedang berubah secara terencana dan tak-terencana. Secara terencana, Lamongan ibarat naga yang sedang terbangun. Lamongan sekarang adalah Lamongan yang sedang membangun diri, Lamongan yang berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu.

Tahun 1970-an sampai awal tahun 1990-an masyarakat, umumnya masyarakat Jawa Timur mengenal Lamongan sebagai daerah paling miskin nomor dua di Propinsi Jawa Timur setelah Kabupaten Pacitan. Dua daerah tersebut memiliki karakteristik yang sama, keduanya berada di daerah pesisir yang salah satu sisinya diapit oleh gunung kapur yang tandus, yang sangat sulit untuk ditanami tanaman pertanian. Wilayah Lamongan sendiri sebagian besar terdiri dari daerah dataran rendah dan rawa-rawa, yang secara lebih rinci dapat dibagi dalam tiga karakteristik. Bagian tengah belahan selatan terdiri dari dataran rendah yang relatif bisa ditanami, meliputi wilayah kecamatan Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Kedungpring, Sugio, Kembangbahu, dan Tikung. Bagian tengah belahan utara, terdiri dari daerah bonorowo yang rawan banjir, meliputi beberapa kecamatan: Turi, Sekaran, Karanggeneng, Laren, Kalitengah, Karangbinangun, Glagah, dan Deket. Bagian selatan dan utara terdiri dari pegunungan kapur dan sebagian berupa dataran rendah (plateu), seperti Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Sukorame, Brondong, Paciran dan Solokuro.

Kondisi dan karakteristik geografis telah menjadikan daerah Lamongan terperangkap ke dalam kemiskinan yang abadi. Pemerintah daerahnya maupun penduduknya sama-sama mengalami kemiskinan yang akut. Secara transparan kemiskinan daerah dibuktikan dengan kecilnya Produk Domestik Regional Bruto untuk Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1983 misalnya, PDRB daerah Lamongan hanya mencapai Rp 225.461.601.100. Angka tersebut sangat tidak ada artinya bila dibandingkan dengan PDRB Kota Surabaya pada tahun yang hampir bersamaan, yaitu tahun 1984 yang mencapai Rp. 1.715.000.000.000 Beberapa data memang menunjukkan bahwa PDRB daerah ini selalu mengalami kenaikan. Pada Tahun 1995 PDRB atas dasar harga berlaku sudah mencapai angka Rp. 1.149.380.170.000, namun angka tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sidoarjo pada tahun yang sama yang mencapai angka Rp. 4.895.642.140.000. Perubahan terencana —dalam pengertian pertumbuhan yang tidak natural, berdasarkan tabel di atas hanya mungkin terlihat pada tahun-tahun setelah 1995.

Secara kuantitatif, angka kemiskinan penduduknya ditunjukkan dengan angka-angka pendapatan per kapita daerah Lamongan yang masih rendah, juga menunjukkan bahwa “pembangunan” hanya terjadi secara natural saja, yang tumbuh berdasarkan pola-pola pertumbuhan wajar tanpa adanya political-will yang terprogram dari birokrasi pemerintahan; sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 di bawah ini, pendapatan per kapita penduduk Lamongan nyaris jatuh pada level subsisten.

Pada tahun 1983 pendapatan per kapita daerah ini hanya Rp. 208.320, tahun 1987 menjadi Rp. 230.120 atas harga konstan atau sebesar Rp. 388.420 atas harga berlaku, dan tahun 1992 naik menjadi Rp. 304.040 atas harga konstan atau sebesar Rp. 681.300 atas dasar harga berlaku. Ada peningkatan signifikan atau kenaikan yang proporsional dari pendapatan penduduk Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1983, di mana banyak saudara Amrozi yang bermigrasi ke Malaysia, memang pendapatan per kapita penduduk masih sangat rendah. Namun, ketika tahun 1992, di mana Amrozi sendiri berhijrah ke negeri jiran Malaysia, masih belum signifikan untuk menjelaskan situasi ini.

Jumlah keluarga miskin dapat ditunjukkan pada prosentase keluarga miskin di Kabupaten Lamongan pada tahun 1999 yang mencapai 50,74 % atau sebanyak 159.988 keluarga dari total keluarga sebanyak 315.331. Bahkan dua tahun sebelumnya (tahun 1997) prosentase keluarga miskin mencapai 54,02 %. Separoh lebih keluarga yang tinggal di Kabupaten Lamongan masih berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mungkin keluarga Amrozi dan sanak-saudara serta handai-taulannya, termasuk dalam hitungan angka kemiskinan ini. Angka tersebut tergolong cukup besar bila dibandingkan dengan daerah yang memiliki karakteristik geografi yang hampir sama dan kabupaten tetangga terdekat yaitu Gresik, yang pada tahun yang sama angka kemiskinannya hanya 24 %.

Kondisi yang demikian menimbulkan dilema bagi penduduknya. Apabila ia bertahan di daerahnya ia tetap berkubang dengan kemiskinan, nasi jagung, atau nasi tiwul. Pada tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1990-an paceklik masih sering melanda daerah ini. Kondisi tanah yang sangat tandus masih diperparah dengan curah hujan yang relatif rendah di Lamongan. Jumlah hari hujan pada tahun 2000 untuk Lamongan hanya 96 hari, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Pacitan yang mencapai 149 hari atau Sumenep yang mencapai 162 hari. Bagi Lamongan yang sangat minim dengan sumber air, jumlah hujan yang sangat sedikit merupakan beban tersendiri bagi wilayah ini. Padahal dengan minimnya sumber air, sebagian besar penduduk sangat menggantungkan hidupnya pada air hujan. Tetapi dengan curah hujan yang rendah maka kebutuhan penduduk akan air pun menjadi semakin sulit.

Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sebagian besar penduduk Lamongan agar bisa keluar dari lilitan kemiskinan dan keterbelakangan adalah keluar dari daerahnya, merantau ke kota-kota besar di Indonesia, atau menjadi tenaga kerja di luar negeri. Profesi yang mereka sandang sangat beragam, tetapi sebagian besar menjadi penjaja (atau penjual menetap kaki lima) makanan seperti soto, nasi goreng, pecel lele, mie, warung kopi dan lain sebagainya. Fenomena ini terjadi di berbagai kota yang menjadi tujuan penduduk Lamongan. Bagi yang bekerja di luar negeri rata-rata berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (bagi perempuan) atau sebagai pekerja bangunan (bagi laki-laki). Tahun 2003, sejak bulan Januari sampai bulan September, daerah ini telah mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri sebanyak 551 orang. Semuanya diberangkatkan ke Malaysia.

Kondisi geografis yang sulit untuk kehidupan mereka, serta bekal keterampilan yang pas-pasan yang mereka peroleh di lembaga pendidikan, menjadikan mereka lebih banyak mencari penghidupan di luar daerah, dalam bidang-bidang tertentu yang cenderung apa adanya. Rata-rata menjadi penjual kaki lima. Amrozi mewakili gambaran umum masyarakat Lamongan. Ia hanya menamatkan pendidikannya di aliyah yang dikelola oleh sebuah pondok pesantren. Ketika kondisi di sekelilingnya tidak bisa memberi jalan hidup yang layak, ia pun merantau ke Malaysia. Semula keluarganya menyangka ia merantau ke Malaysia untuk mencari uang, orang-orang Lamongan menyebutnya nggolek Ringgit (mencari Ringgit ), menyusul kakaknya yang telah lama tinggal di negeri jiran tersebut. Tak hanya mencari Ringgit, Amrozi nampaknya juga memiliki berinteraksi dalam suatu komunitas jamaah yang dulu pernah mengasuhnya di Lamongan yang kemudian dilanjutkan di dalam komunitas pengajian di Malaysia. Dan dalam proses belajar itulah ia menemukan ideologi kekerasan yang terbungkus dalam bingkai agama, jihad.

Jihad, yang oleh kelompok tertentu diartikan sebagai “perang suci” mengandung arti suatu tindakan perlawanan atas pandangan hidup yang berbeda dengan orang lain. Di kalangan Syi’ah bahkan ada yang menganggap jihad itu rukun Islam yang ke enam. Dalam batas tertentu, banyak kalangan fundamentalisme radikal menggunakan jihad untuk memaksakan pandangan mereka atas nama ideologi yang ekstrim dan abstrak. Dengan demikian, negara Islam harus dipersiapkan untuk perang dan orang yang tidak percaya pada Islam harus dipaksa masuk Islam atau dibunuh. Hipotesis ini mungkin perlu dibuktikan, namun apapun itu, ideologi ini tidak tumbuh begitu saja, melainkan tertanam jauh di dasar kesadaran orang-orang yang telah mengalami sejarah panjang kegetiran, kezaliman dan ketidak-pedulian dari aktor-aktor pembangunan yang seharusnya bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan negatif muncul.

Amrozi dalam perjalanan mempelajari agama Islam selama di Malaysia ternyata menemukan ideologi sebagaimana digambarkan di atas. Pertanyaan kita selanjutnya adalah betulkah apa yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya dengan mengebom sebuah bar di Bali adalah semata-mata sebuah tindakan yang dilakukan karena panggilan agama? Seringkali tindakan-tindakan yang dilakukan dengan mengatasnamakan sebuah ideologi yang sangat abstrak apabila ditelusuri secara teliti ternyata berkaitan erat dengan kondisi riil yang sedang dihadapi oleh para pelakunya. Trevor Ling yang pernah melakukan sebuah kajian tentang kekerasaan agama sampai pada sebuah kesimpulan bahwa peperangan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan kekuasaan dan tradisi agama tertentu, sebab-sebab peperangan dan kekerasan hanya dapat dijumpai dalam hubungan dengan kepentingan material.

Berkaitan dengan Amrozi, nampaknya faktor material pula yang mendorong mengapa ia beserta rekan-rekannya melakukan tindakan yang dalam batas-batas tertentu di luar kewajaran. Jika dilihat dari latar belakang ekonominya, Amrozi dan saudara-saudaranya pelaku bom Bali rata-rata berasal dari keluarga miskin. Kondisi keluarga Amrozi tergambar jelas dalam kutipan di bawah ini. “Setelah menikah dengan Choiriyana Khususiyati asal Madiun ia tinggal bersama ibu dan bapaknya. Di bangunan yang terbuat dari kayu bercat biru muda itu berukuran 7 x 10 meter persegi itu tidak ada perabotan istimewa. Di sebelah kiri bangunan induk ada bangunan lain berupa bengkel sepeda motor.” Pemandangan bersahaja inilah yang dalam bahasa ekonomi makro dapat kita sebut sebagai kemiskinan. Kemiskinan yang dialami Amrozi, tentulah juga kemiskinan umum yang masih melilit sebagain besar warganya juga telah menjadikan daerah Lamongan sebagai daerah yang rentan terhadap berbagai tindak kejahatan.

Di luar konteks kejahatan terorisme yang telah dilakukan Amrozi, dimensi kejahatan biasa yang sering menempel dalam kondisi kemiskinan di Lamongan ini dapat kita lihat dengan jelas. Kondisi tersebut diperkuat dengan banyaknya perkara pidana yang masuk ke pengadilan negeri Lamongan. Tabel 3 di bawah ini, meskipun menunjukkan kecenderungan umum yang menurun, kejahatan di Lamongan tergolong cukup besar untuk ukuran sebuah kabupaten. Pada tahun 1997 misalnya terdapat 19.133 jenis perkara pidana yang masuk ke pengadilan, tahun 1998 terdapat 14.361 perkara, dan tahun 1999 terdapat 12.931 perkara. Dari tahun 1997 hingga menjelang tahun 2000, sebagaimana kita lihat pada tabel-tabel sebelumnya, menunjukkan korelasi positif dengan membaiknya situasi ekonomi.

Nampaknya ada korelasi yang cukup kuat antara kemiskinan material dengan munculnya radikalisme yang berlindung di balik ideologi agama tertentu. Tindak kekerasan dalam sisi tertentu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengarah kepada reaksi terhadap ketidak-adilan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Satha-Anand tentang tindak kekerasan yang terjadi di beberpa propinsi di Thailand bagian selatan (Pattani, Satun, Narathiwat, Yala) nampaknya membuktikan tesis di atas. Menurutnya bahwa kekerasan yang terjadi di propinsi-propinsi Melayu di Thailand Selatan yang nota benenya adalah daerah muslim, sangat dalam akarnya apabila dilihat dari sudut sosial, budaya, dan sejarah. Kekerasan adalah cermin kerumitan struktural yang mudah menumbuhkan perselisihan, sedang perselisihan itu sendiri disebabkan oleh tiadanya keadilan sosial dan kemiskinan.

Pemikiran tersebut sejalan dengan tulisan Benazir Bhutto dalam The Jakarta Post, 13 Agustus 2004. Menurutnya, saat ini dunia sedang digiring untuk melawan teroris. Paling tidak ada tiga hal kondisi dunia pasca runtuhnya WTC. Pertama, perang melawan akar-akar kaum militan. Kedua, Naiknya perhatian politik terhadap batas-batas keagamaan, dan ketiga tumbuhnya gap antara yang kaya dengan yang miskin. Sementara perhatian global terfokus pada terorisme, krisis kemiskinan tidak diperhatikan. Ia mencontohkan kondisi negaranya, Pakistan. Penghasilan per kapita Pakistan turun tajam, dan di sisi lain kebutuhan hidup naik dengan sangat tajam. Sementara perang terhadap teroris dianggap sebagai perang yang sesungguhnya, tetapi di sisi yang lain keadaan ekonomi masyarakat justru sebaliknya dimana banyak keluarga yang tidak bisa menghidupi keluarganya sendiri. Padahal di sinilah akar munculmnya teroris. Lebih lanjut Benazir mengemukakan bahwa kekecewaan terhadap meningkatnya kemiskinan yang dilandasi ekstremisme agama membuat situasi dunia yang sudah sangat rumit ini semakin kompleks.

Dalam konteks inilah Islam dipakai alat untuk membenarkan tindak kekerasan. Dalam kaitan ini pula, Islam itu sendiri bukan penyebab timbulnya kekerasan. Pertanyaan utama adalah mengapa Islam dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan? Karena pada dasarnya Islam memiliki orientasi bertindak, dalam arti mendorong pengikutnya agar bertindak melawan ketidakadilan. Kunci utamanya adalah ketidakadilan. Kondisi inilah yang juga muncul di Lamongan. Kondisi geografis telah memunculkan ketidakadilan di daerah ini.

Masfuk: Langkah Awal Memberdayakan Lamongan

Lamongan mulai menunjukan perubahan yang signifikan sejak Masfuk terpilih menjadi bupati di daerah ini. Untuk membangun Lamongan Masfuk, memulainya dengan semboyan "bekerja secara profesional" yang dicanangkan pada peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Lamongan ke-432 pada tahun 2001. Harapan ini menyiratkan maksud, bahwa tidak seluruh pembangunan berarti menghasilkan uang, sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran utama, caranya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. Poin meningkatkan kualitas SDM inilah yang sebenarnya tujuan otonomi daerah dalam undang-undang. Dengan memiliki SDM yang berkualitas, pembangunan daerah akan berjalan secara otomatis menuju peningkatan pendapatan asli daerah. Apalagi pembangunannya diarahkan pada kepentingan bisnis. Di sini, Masfuk mengartikan otonomi daerah menjadi menjadi manajemen otonomi. Cara berpikir bisnis dipadukan dalam kepemimpinannya sebagai Bupati Lamongan.

Langkah Masfuk tentu saja terkait erat dengan latar belakang yang bersangkutan yang merupakan pelaku bisnis, dan berasal dari keluarga miskin. Ia mulai menapaki dunia usaha dengan berjualan perhiasan perak sekelas pedagang kaki lima. Krisis ekonomi yang menghebat telah mengantarkannya menjadi pengusaha sukses, ketika bidang usaha lain justru berguguran. Tahun 1997 Masfuk telah berhasil mengembangkan sayap usahanya menjadi 5 bidang usaha dan berhasil menembus pasaran ekspor. Naluri bisnisnya sangat kuat, sehingga mengantarkannya menjadi pengusaha sukses di Indonesia. Naluri bisnis itu juga yang ia bawa ketika menjabat sebagai bupati Lamongan. Dalam membangun Lamongan ia menggunakan konsep “pemerintahan wirausaha” dengan memasukan semangat wirausaha dalam birokrasi, yang karenanya harus dijalankan dengan logika-logika wirausaha (how the entrepreneurial spirit is transforming the public sector).

Langkah Masfuk ini sangat sesuai dengan ide yang ditelorkan oleh David Obsorne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government. Selain memasukan konsep kewirausahaan dalam birokrasi, ide Obsorne juga terfokus pada penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas. Sebaliknya pemerintah sebaiknya lebih berfungsi sebagai pengendali (steering) daripada sebagai penyedia layanan (rowing) kepada masyarakat.

Dengan model seperti ini maka Masfuk mendekati berbagai problem di daerahnya serta dalam merancang program-program pengembangan daerah Lamongan, dengan gaya dan caranya sendiri. Kemandiriannya sebagai seorang usahawan ia terapkan dalam memimpin daerah. Ia lebih banyak berimprofisasi dari pada terus-menerus menerus menggantungkan diri pada birokrasi, yang ia rasakan akan memperlamban langkah-langkahnya. Ia berangkat dari pengalaman pertama membangun usahanya sendiri dan menerapkan kewirausahaan ini ke dalam sistem birokrasi pemerintahan.

Dengan semboyan “bertindak segera” itu pula ia buka pintu Lamongan lebar-lebar bagi investor yang akan berinvestasi di daerah ini, bahkan ia mencoba menjemput bola. Ia tawarkan potensi daerah Lamongan yang bisa digarap oleh para investor, baik lokal, nasional, bahkan kepada para investor asing. Agar investor tertarik masuk ke Lamongan, tidak segan-segan Masfuk, memoles daerahnya agar investor tertarik menanamkan modalnya. Pada tahap awal tidak kurang dari sepuluh pengusaha/perusahaan besar masuk ke daerah pesisir pantai utara Jawa Timur ini. Bahkan Sorbis dari Singapura tertarik menanamkan modalnya di Lamongan. Pada bulan Agustus 2004, Kabupaten Lamongan akan merealisasikan megaproyek sebesar Rp. 313 milyar yaitu pembangunan galangan kapal dan rumah sakit daerah.

Sukses Masfuk membangun Lamongan tidak bisa dipisahkan dengan naluri yang bersangkutan sebagai mantan pebisnis, serta keterlibatan langsung masyarakat setempat dalam proses pembangunan. Dalam beberapa kasus, pemerintah kabupaten hanya bertindak sebagai pendorong dari proses pembangunan yang tengah berlangsung, sementara pelaksana utamanya adalah masyarakat. Upaya tersebut misalnya diwujudkan dalam membangun pasar-pasar desa di berbagai pelosok Lamongan. Dalam kegiatan ini pemerintah kabupaten hanya memberi pinjaman tanpa bunga kepada desa yang akan membangun atau memperbaiki pasar sebesar Rp. 200 juta. Dana tersebut selanjutnya akan digulirkan kepada desa lain yang membutuhkan. Pasar perlu dibangun karena pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi terpenting untuk daerah-daerah terpencil. Bahkan di berbagai sudut kota Lamongan pun saat ini bermunculan pusat-pusat bisnis dalam skala sedang berupa ruko, yang dalam periode sebelumnya belum pernah ada. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika ekonomi sedang tumbuh di kota ini.

Keterlibat masyarakat yang sangat dominan dalam pembangunan membuktikan bahwa gagasan reinventing government sebagaimana dicetuskan oleh Obsorne dan Gaebler telah dijalankan oleh Masfuk. Dua dari sepuluh prinsip reinventing government menyebutkan, pertama catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya lebih banyak berperan sebagai pengendali daripada sebagai produsen pemberi jasa layanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah harus melepaskan pekerjaan yang sekiranya dapat dikerjakan oleh masyarakat dan pemerintah hanya perlu melakukan pengaturan dan pengendalian. Bukti lain dari implementasi gagasan ini yang dilaksanakan oleh Masfuk adalah apa yang dilihat oleh tim di Kecamatan Sarirejo. Beberapa bulan yang lalu ketika tim mendatangi daerah tersebut, masyarakat setempat bercerita bahwa mereka akan mengeruk dam atas usaha mereka sendiri, sementara pemerintah kabupaten hanya akan menyediakan alat pengeruk. Ternyata program tersebut saat ini sudah terwujud, dan pelaksananya murni swadaya masyarakat yang diberi stimulus oleh pemerintah.

Contoh di atas terkait erat dengan prinsip kedua, yaitu community owned government: empowering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya memberdayakan masyarakat, sehingga partisipasi aktif dan kreatifitas masyarakat berkembang dengan baik dan mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Pengalaman Bupati Lamongan mungkin bisa menjadi contoh yang baik sebagaimana ia ceritakan: “Beberapa waktu yang lalu ketika saya pulang dari kantor, saya hanya ditemani oleh seorang ajudan. Ketika saya melewati sebuah pasar sepeda motor bekas milik PPSM saya turun dari mobil. Orang-orang di situ kaget melihat saya. Mereka menyambut saya dengan antusias. Saya kemudian bertanya kepada mereka: “Apa kira-kira yang bisa saya bantu untuk bapak-bapak di sini.” mereka menjawab bahwa apabila hujan turun tempat itu akan tergenang air, mereka minta agar tempat tersebut di paving block. Dan yang mengejutkan mereka sanggup memasang paving tersebut asal ada bantuan dari pemerintah.”

Di sinilah letak kepiawaian Masfuk dalam merayu masyarakat agar berpartisipasi langsung dalam mengembangkan daerahnya. Ia tidak memanjakannya dengan berbagai pemberian, tetapi ia mencoba mengetuk kesadaran masyarakat agar terjun langsung membangun lingkungannya. Seandainya dibolehkan untuk memberikan satu tesis dalam exploratory ini, mungkin jika Amrozi terlahir dari generasi baru setelah tahun 2000, ia akan urung melakukan aksi radikalnya. Pembangunan hadir di mana-mana, di berbagai sektor, dan hampir tidak ada ruang untuk resistensi bagi siapa pun.

Yang paling kasat mata dari hasil pembangunan saat ini adalah pembangunan sektor perhubungan. Jalan-jalan diperbaiki, diaspal halus. Pada tahun anggaran 2001 pada saat awal Bupati Masfuk menjabat, ia menganggarkan Rp 10,9 miliar untuk membangun dan memperbaiki jalan raya. “Itulah yang diharapkan oleh masyarakat desa. Banyak petani bersepeda kayuh menjual barang dagangan ke kota. Untuk melewati jalan desanya, terkadang sepedanya rusak di tengah jalan karena jalan berlubang-lubang.” Masfuk juga bisa berhasil memperbaiki kualitas jalan. Bagi Masfuk, jalan adalah kebutuhan seluruh masyarakat. Jalan bisa memberdayakan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing masyarakat. Jika saat ini kita jalan-jalan ke berbagai pelosok Lamongan, kita akan merasakan perbedaannya dengan Lamongan sepuluh tahun yang lalu. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan betapa Masfuk telah membuat sebuah gebrakan yang cukup dasyat dalam sektor perhubungan.

Pada tahun 1998 misalnya, panjang jalan dalam kondisi baik 102.808 Km, kondisi sedang 134.204 Km, kondisi rusak 86.396 Km, dan panjang jalan kondisi rusak berat 23.324 Km. Pada tahun 1999 kondisinya menjadi terbalik. Panjang jalan rusak berat menjadi 59.537 Km, kondisi rusak menjadi 97.479 Km, kondisi sedang 102.748 Km, dan jalan dalam kondisi baik tinggal 86.971 Km. Wajah infrastruktur perhubungan yang tidak begitu baik itulah yang mengawali Masfuk bertugas sebagai Bupati Lamongan. Namun berkat usaha kerasnya, kondisi jalan di Lamongan saat ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Panjang jalan dalam kondisi baik bertambah dua kali lipat dibandingkan tahun 1999, menjadi 164.075 Km, kondisi sedang menjadi 157.474 Km, kondisi rusak tinggal 21.082 Km, dan jalan dalam kondisi rusak berat tinggal 4.100 Km.

Pembangunan fisik dan non fisik yang berlangsung sekarang ini, serta berbagai prestasi yang diraih oleh Lamongan mengindikasikan bahwa jargon Orde Baru sebagai pembangun infra struktur paripurna tidak benar. Lamongan membuktikan hal tersebut. Apalagi partisipasi masyarakat dalam membangun Lamongan sangat tinggi. Salah satu bukti nyata tentang hal itu adalah pembangunan waduk rakyat di desa Gempoltukmloko. Sekitar tiga bulan yang lalu ketika tim peneliti mengunjungi desa tersebut upaya untuk mengeruk waduk rakyat masih berupa gagasan. Namun ketika pada awal Agustus tim peneliti mengunjungi desa tersebut, ternyata waduk sudah dikeruk, dan tanah kerukannya diurukkan di lokasi pembangunan pasar. Dalam kasus ini pemerintah kabupaten hanya menyumbang alat pengeruk, sementara tenaganya murni dari warga desa.

Oleh : Purnawan Basundoro (pbasundoro@yahoo.com)

kabupaten bojonegoro

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Bojonegoro terus memaksimalkan pembangunan wisata petilasan angling darma di Desa Wotanngare Kecamatan Kalitidu. Pada 2010 ini, Disparbud menargetkan membangun pagar yang melingkari petilasan Angling Dharmo. ''Saat ini pembangunan paseban sudah selesai. Selain itu juga tengah menyelesaikan gapura dan akses jalan di sekitar paseban,'kata Mardikun, Kepala Disparbud Bojonegoro kemarin.

Petilasan Angling Dharma akan direncanakan sebagai wisata sejarah Bojonegoro. Selain pembangunan petilasan, juga akan direncanakan pembangunan museum di tempat wisata baru tersebut. ''Karena memang banyak ditemukan benda-benda bersejarah yang berasal dari Desa Wotanngare dan sekitarnya,''tutur mantan Kepala Dinas Pendidikan ini.

Tahapan selanjutannya, pada 2010 akan mulai dilakukan pembangunan pagar keliling kawasan petilasan, pemasangan paving. Selain itu akan dilakukan pembebasan lahan untuk memudahkan akses transportasi menuju tempat wisata.

Sementara itu, untuk menunjang wisata sejarah petilasan Angling Darma, pihak Disbudpar juga melakukan penelitian sejarah. Yaitu, dengan mempelajari sejarahnya dari keterangan para warga sekitar juga dari dokumentasi naskah-naskah kuno.

''Langkah itu dengan melakukan kerjasama antara Disbudpar dengan pihak peneliti dari Yogyakarta yang sudah mulai menyusun sejarah Angling Darma untuk melakukan penelitian dan BP3 Trowulan yang berkaitan dengan penemuan benda purbakala,''paparnya.

sejarah kabupaten banyuwangi

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.



Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).



Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).



Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).



Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.



Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional

Sumber : Museum Daerah "BLAMBANGAN" Banyuwangi

sejaran kabupaten bangkalan

Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.

Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.


Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri.


Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.


Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.


Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya.


Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.


Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.


Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura.


Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke' Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.


Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa', Babu', Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).


Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun‚ sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing.


Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas. Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.


Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional.


Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.


Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.


Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.



Sumber : www.pamekasan.go.id

sejarah Jawa Timur

Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia(Pulau Sempu dan Nusa Barung).

Jawa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.
Prasejarah

Jawa Timur telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah, dimana kini dapat dibuktikan dengan ditemukannya sisa-sisa fosil Pithecantrhropus mojokertensis di Kepuhlagen-Mojokerto, Pithecanthropus erectus di Trinil-Ngawi, dan Homo wajakensis di Wajak-Tulungagung.
[sunting] Era klasik

Prasasti Dinoyo yang ditemukan di dekat Kota Malang adalah sumber tertulis tertua di Jawa Timur, yakni bertahun 760. Pada tahun 929, Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, serta mendirikan Wangsa Isyana yang kelak berkembang menjadi Kerajaan Medang, dan sebagai suksesornya adalah Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Janggala, dan Kerajaan Kadiri. Pada masa Kerajaan Singhasari, Raja Kertanagara melakukan ekspansi hingga ke Melayu. Pada era Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk, wilayahnya hingga mencapai Malaka dan Kepulauan Filipina.

Bukti awal masuknya Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam nisan di Gresik bertahun 1102, serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Majapahit.

Tetapi setelah penemuan munculnya candi Jedong di Daerah Wagir , Malang , Jawa Timur yang diyakini lebih tua dari Prasasti Dinoyo , yakni sekitar abad 6 Masehi.
[sunting] Kolonialisme

Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Jawa Timur. Kapal Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Pulau Madura pada tahun 1596. Surabaya jatuh ke tangan VOC pada tanggal 13 Mei 1677. Ketika pemerintahan Stamford Raffles, Jawa Timur untuk pertama kalinya dibagi atas karesidenan, yang berlaku hingga tahun 1964.
[sunting] Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi, dimana Jawa Timur adalah salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Jawa Timur adalah R. Soerjo, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional.

Tanggal 20 Februari 1948 di Madura dibentuk Negara Madura, dan tanggal 26 November 1948 dibentuk Negara Jawa Timur, yang kemudian menjadi salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Negara Jawa Timur dibubarkan dan bergabung ke dalam Republik Indonesia tanggal 25 Februari 1950, dan tanggal 7 Maret 1950 Negara Madura memberikan pernyataan serupa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950, dibentuk Provinsi Jawa Timur.
[sunting] Geografi

Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Panjang bentangan barat-timur sekitar 400 km. Lebar bentangan utara-selatan di bagian barat sekitar 200 km, namun di bagian timur lebih sempit hingga sekitar 60 km. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 km sebelah utara Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang paling timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan terdapat dua pulau kecil yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu.
[sunting] Relief
Gunung Bromo, dengan latar belakang Gunung Semeru

Secara fisiografis, wilayah Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan (plato), zona tengah (gunung berapi), dan zona utara (lipatan). Dataran rendah dan dataran tinggi pada bagian tengah (dari Ngawi, Blitar, Malang, hingga Bondowoso) memiliki tanah yang cukup subur. Pada bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif tandus.

Pada bagian tengah terbentang rangkaian pegunungan berapi: Di perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Gunung Lawu (3.265 meter). Di sebelah selatan Nganjuk tedapat Gunung Wilis (2.169 meter) dan Gunung Liman (2.563 meter). Pada koridor tengah terdapat kelompok Anjasmoro dengan puncak-puncaknya Gunung Arjuno (3.239 meter), Gunung Welirang (3.156 meter), Gunung Anjasmoro (2.277 meter), Gunung Wayang (2.198 meter), Gunung Kawi (2.681 meter), dan Gunung Kelud (1.731 meter); pegunungan tersebut terletak di sebagian Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Jombang. Kelompok Tengger memiliki puncak Gunung Bromo (2.192 meter) dan Gunung Semeru (3.676 meter). Semeru, dengan puncaknya yang disebut Mahameru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Di daerah Tapal Kuda terdapat dua kelompok pegunungan: Pegunungan Iyang dengan puncaknya Gunung Argopuro (3.088 meter) dan Pegunungan Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.332 meter).

Pada bagian selatan terdapat rangkaian perbukitan, yakni dari pesisir pantai selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, hingga Malang. Pegunungan Kapur Selatan merupakan kelanjutan dari rangkaian Pegunungan Sewu di Yogyakarta.
[sunting] Hidrografi

Dua sungai terpenting di Jawa Timur adalah Sungai Brantas (290 km) dan Bengawan Solo. Sungai Brantas memiiki mata air di daerah Malang. Sesampai di Mojokerto, Sungai Brantas pecah menjadi dua: Kali Mas dan Kali Porong; keduanya bermuara di Selat Madura. Bengawan Solo berasal dari Jawa Tengah, akhirnya bermuara di Gresik. Kedua sungai tersebut dikelola oleh PT Jasa Tirta.

Di lereng Gunung Lawu di dekat perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Telaga Sarangan, sebuah danau alami. Bendungan utama di Jawa Timur antara lain Bendungan Sutami dan Bendungan Selorejo, yang digunakan untuk irigasi, pemeliharaan ikan, dan pariwisata.
Iklim

Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Dibandingkan dengan wilayah Pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah hujan yang lebih sedikit. Curah hujan rata-rata 1.900 mm per tahun, dengan musim hujan selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar antara 21-34 °C. Suhu di daerah pegunungan lebih rendah, dan bahkan di daerah Ranu Pani (lereng Gunung Semeru), suhu bisa mencapai minus 4 °C,yang menyebabkan turunnya salju lembut.
Pembagian administratif

Secara administratif, Jawa Timur terdiri atas 29 kabupaten dan 9 kota, menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia.
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Bangkalan Bangkalan
2 Kabupaten Banyuwangi Banyuwangi
3 Kabupaten Blitar Kanigoro [2]
4 Kabupaten Bojonegoro Bojonegoro
5 Kabupaten Bondowoso Bondowoso
6 Kabupaten Gresik Gresik
7 Kabupaten Jember Jember
8 Kabupaten Jombang Jombang
9 Kabupaten Kediri Kediri [3]
10 Kabupaten Lamongan Lamongan
11 Kabupaten Lumajang Lumajang
12 Kabupaten Madiun Madiun [4]
13 Kabupaten Magetan Magetan
14 Kabupaten Malang Kepanjen[5]
15 Kabupaten Mojokerto Mojokerto[6]
16 Kabupaten Nganjuk Nganjuk
17 Kabupaten Ngawi Ngawi
18 Kabupaten Pacitan Pacitan
19 Kabupaten Pamekasan Pamekasan
20 Kabupaten Pasuruan Pasuruan
21 Kabupaten Ponorogo Ponorogo
22 Kabupaten Probolinggo Kraksaan[7]
23 Kabupaten Sampang Sampang
24 Kabupaten Sidoarjo Sidoarjo
25 Kabupaten Situbondo Situbondo[8]
26 Kabupaten Sumenep Sumenep
27 Kabupaten Trenggalek Trenggalek
28 Kabupaten Tuban Tuban
29 Kabupaten Tulungagung Tulungagung
30 Kota Batu[9] -
31 Kota Blitar -
32 Kota Kediri -
33 Kota Madiun -
34 Kota Malang -
35 Kota Mojokerto -
36 Kota Pasuruan -
37 Kota Probolinggo -
38 Kota Surabaya -


[sunting] Penduduk

Jumlah penduduk Jawa Timur pada tahun 2005 adalah 37.070.731 jiwa, dengan kepadatan 774 jiwa/km2. Kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Malang, sedang kota dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Surabaya. Laju pertumbuhan penduduk adalah 0,59% per tahun (2004).
[sunting] Suku bangsa

Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di sektor informal.

Suku Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Suku Osing tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samin tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro.

Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan dan mayoritas di beberapa tempat, diikuti dengan Arab; mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan industri lainnya.
[sunting] Bahasa

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang berlaku secara nasional, namun demikian Bahasa Jawa dituturkan oleh sebagian besar Suku Jawa. Bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Timur memiliki beberapa dialek/logat. Di daerah Mataraman (eks-Karesidenan Madiun dan Kediri), Bahasa Jawa yang dituturkan hampir sama dengan Bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Solo-an). Di daerah pesisir utara bagian barat (Tuban dan Bojonegoro), dialek Bahasa Jawa yang dituturkan mirip dengan yang dituturkan di daerah Blora-Rembang di Jawa Tengah.

Dialek Bahasa Jawa di bagian tengah dan timur dikenal dengan Bahasa Jawa Timuran, yang dianggap bukan Bahasa Jawa baku. Ciri khas Bahasa Jawa Timuran adalah egaliter, blak-blakan, dan seringkali mengabaikan tingkatan bahasa layaknya Bahasa Jawa Baku, sehingga bahasa ini terkesan kasar. Namun demikian, penutur bahasa ini dikenal cukup fanatik dan bangga dengan bahasanya, bahkan merasa lebih akrab. Bahasa Jawa Dialek Surabaya dikenal dengan Boso Suroboyoan. Dialek Bahasa Jawa di Malang umumnya hampir sama dengan Dialek Surabaya. Dibanding dengan bahasa Jawa dialek Mataraman (Ngawi sampai Kediri), bahasa dialek malang termasuk bahasa kasar dengan intonasi yang relatif tinggi. Sebagai contoh, kata makan, jika dalam dialek Mataraman diucapkan dengan 'maem' atau 'dhahar', dalam dialek Malangan diucapkan 'mangan'. Salah satu ciri khas yang membedakan antara bahasa arek Surabaya dengan arek Malang adalah penggunaan bahasa terbalik yang lazim dipakai oleh arek-arek Malang. Bahasa terbalik Malangan sering juga disebut sebagai bahasa walikan atau osob kiwalan. Berdasarkan penelitian Sugeng Pujileksono (2007), kosa kata (vocabulary) bahasa walikan Malangan telah mencapai lebih dari 250 kata. Mulai dari kata benda, kata kerja, kata sifat. Kata-kata tersebut lebih banyak diserap dari bahasa Jawa, Indonesia, sebagian kecil diserap dari bahasa Arab, Cina dan Inggris. Beberapa kata yang diucapkan terbalik, misalnya mobil diucapkan libom, dan polisi diucapkan silup. Produksi bahasa walikan Malangan semakin berkembang pesat seiring dengan munculnya supporter kesebelasan Arema (kini Arema Indonesia)yang sering disebut Aremania. Bahasa-bahasa walikan banyak yang tercipta dari istilah-istilah di kalangan supporter. Seperti retropus elite atau supporter elit. Otruham untuk menyebut supporter dari wilayah Muharto. Saat ini Bahasa Jawa merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat SD hingga SLTA.
Bahasa Madura dituturkan oleh Suku Madura di Madura maupun di mana pun mereka tinggal. Bahasa Madura juga dikenal tingkatan bahasa seperti halnya Bahasa Jawa, yaitu enja-iya (bahasa kasar), engghi-enten (bahasa tengahan), dan engghi-bhunten (bahasa halus). Dialek Sumenep dipandang sebagai dialek yang paling halus, sehingga dijadikan bahasa standar yang diajarkan di sekolah. Di daerah Tapal Kuda, sebagian penduduk menuturkan dalam dua bahasa: Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Kawasan kepulauan di sebelah timur Pulau Madura menggunakan Bahasa Madura dengan dialek tersendiri, bahkan dalam beberapa hal tidak dimengerti oleh penutur Bahasa Madura di Pulau Madura (mutually unintellegible).

Suku Osing di Banyuwangi menuturkan Bahasa Osing. Bahasa Tengger, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Suku Tengger, dianggap lebih dekat dengan Bahasa Jawa Kuna.

Penggunaan bahasa daerah kini mulai dipromosikan kembali. Sejumlah stasiun televisi lokal kembali menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada beberapa acaranya, terutama berita dan talk show, misalnya JTV memiliki program berita menggunakan Boso Suroboyoan, Bahasa Madura, dan Bahasa Jawa Tengahan.
[sunting] Agama

Suku Jawa umumnya menganut agama Islam, sebagian menganut agama Kristen dan Katolik, dan ada pula yang menganut Hindu dan Buddha. Sebagian orang Jawa juga masih memegang teguh kepercayaan Kejawen. Agama Islam sangatlah kuat dalam memberi pengaruh pada Suku Madura. Suku Osing umumnya beragama Islam. Sedangkan Suku Tengger menganut agama Hindu.

Orang Tionghoa umumnya menganut Konghucu, meski ada pula sebagian yang menganut Buddha, Kristen, dan Katolik; bahkan Masjid Cheng Ho di Surabaya dikelola oleh orang Tionghoa dan memiliki arsitektur layaknya kelenteng.
[sunting] Seni dan budaya
[sunting] Kesenian

Jawa Timur memiliki sejumlah kesenian khas. Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk menceritakan kehidupan sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui dengan humor dan kritik sosial, dan umumnya dibuka dengan Tari Remo dan parikan. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan modernisasi.

Reog yang sempat diklaim sebagai tarian dari Malaysia merupakan kesenian khas Ponorogo yang telah dipatenkan sejak tahun 2001, reog kini juga menjadi icon kesenian Jawa Timur. Pementasan reog disertai dengan jaran kepang (kuda lumping) yang disertai unsur-unsur gaib. Seni terkenal Jawa Timur lainnya antara lain wayang kulit purwa gaya Jawa Timuran, topeng dalang di Madura, dan besutan. Di daerah Mataraman, kesenian Jawa Tengahan seperti ketoprak dan wayang kulit cukup populer. Legenda terkenal dari Jawa Timur antara lain Damarwulan dan Angling Darma.

Seni tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan dalam gaya Jawa Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa gaya Osing, dan trian gaya Madura. Seni tari klasik antara lain tari gambyong, tari srimpi, tari bondan, dan kelana.
[sunting] Budaya dan adat istiadat

Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.

Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.

Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.

Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.

Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
[sunting] Arsitektur

Bentuk bangunan Jawa Timur bagian barat (seperti di Ngawi, Madiun, Magetan, dan Ponorogo) umumnya mirip dengan bentuk bangunan Jawa Tengahan (Surakarta). Bangunan khas Jawa Timur umumnya memiliki bentuk joglo, bentuk limasan (dara gepak), bentuk srontongan (empyak setangkep).

Masa kolonialisme Hindia-Belanda juga meninggalkan sejumlah bangunan kuno. Kota-kota di Jawa Timur banyak terdapat bangunan yang didirikan pada era kolonial, terutama di Surabaya dan Malang.
Pemerintah Daerah

Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur adalah gubernur, yang dibantu oleh seorang wakil gubernur. Jabatan Gubernur Jawa Timur secara resmi saat ini adalah Soekarwo, yang terpilih dalam Pilkada Jatim yang berlangsung dalam dua putaran. Ia menggantikan Setia Purwaka yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri sebagai Penjabat Sementara Gubernur Jawa Timur setalah Gubernur Imam Utomo mengakhiri masa jabatannya pada 29 September 2008. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada Langsung) untuk pertama kalinya akan diselenggarakan pada tahun 2008. Pemerintah Provinsi Jawa Timur terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 22 Dinas Daerah, 16 Badan, 3 Kantor, serta 5 Badan Rumah Sakit. Sementara dalam koordinasi wilayah, dibentuk 4 Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil): Bakorwil I Madiun, Bakorwil II Bojonegoro, Bakorwil III Malang, dan Bakorwil IV Pamekasan.
[sunting] Pertahanan dan Keamanan

Jawa Timur merupakan wilayah Kodam V/Brawijaya, yang bermarkas di Surabaya. Kawasan Kostrad terdapat di Singosari (Malang) dan Kraton (Pasuruan). Surabaya merupakan Daerah Basis Armada Timur TNI-AL. Kawasan TNI-AU terdapat di Bandara Iswahyudi (Madiun), Bandara Abdurrahman Saleh (Malang), Satuan Radar (Jombang), serta di Raci (Pasuruan) dan di Punung (Pacitan). Kawasan Air Weapon Range TNI-AU terdapat di Pantai Pasirian (Lumajang). Bumi Marinir terdapat di Karangpilang (Surabaya). Daerah latihan militer antara lain terdapat di Gunung Bancak (Bangkalan), Gunung Majang Komplek (Jember), Teleng Gesingan (Pacitan), serta di Asembagus (Situbondo).

Polri Daerah Jawa Timur terdiri atas Kepolisian Wilayah: Polwiltabes Surabaya, Polwil Bojonegoro, Polwil Madiun, Polwil Kediri, Polwil Malang, Polwil Besuki, dan Polwil Madura.
Transportasi

Jawa Timur memiliki sistem transportasi darat, laut, dan udara. Sungai di Jawa Timur umumnya tidak dapat dilayari, kecuali di Surabaya dapat dilalui perahu kecil.
[sunting] Transportasi darat

Jawa Timur dilintasi oleh jalan nasional sebagai jalan arteri primer, di antaranya jalur pantura (Anyer-Jakarta-Surabaya-Banyuwangi) dan jalan nasional lintas tengah (Jakarta-Bandung-Yogyakarta-Surabaya). Jaringan jalan tol di Jawa Timur meliputi jalan tol Surabaya-Gempol dan jalan tol Surabaya-Manyar. Saat ini tengah dikembangkan jalan tol trans-Jawa, di antaranya jalan tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono-Ngawi-Mantingan, jalan tol Gempol-Malang-Kepanjen, jalan tol Gempol-Probolinggo-Banyuwangi, serta jalan tol dalam kota Surabaya: tol lingkar timur dan tol tengah kota. Jembatan Suramadu yang melintasi Selat Madura menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura telah selesai pembangunannya dan kini telah dapat digunakan.

Kota-kota di Jawa Timur dihubungkan dengan jaringan bus antarkota. Bus dengan Surabaya-Tuban-Semarang, Surabaya-Madiun-Yogyakarta, Surabaya-Malang, Surabaya-Kediri, dan Surabaya-Jember-Banyuwangi, umumhya beroperasi selama 24 jam penuh. Rute dengan jarak menengah dilayani oleh bus antarkota yang berukuran lebih kecil, seperti jurusan Surabaya-Mojokerto atau Madiun-Ponorogo. Rute dengan jarak jauh seperti Jakarta, Sumatera, dan Bali-Lombok umumnya dilayani oleh bus malam. Terminal Purabaya di Waru, Sidoarjo adalah terminal terbesar di Indonesia.

Setiap kabupaten/kota di Jawa Timur juga memiliki sistem angkutan kota (angkot) atau angkutan perdesaan (angkudes) yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan daerah sekitarnya. Di Surabaya angkutan seperti ini dikenal dengan sebutan lyn atau bemo. Taksi dengan argometer dapat dijumpai di Surabaya-Gresik-Sidoarjo, Malang, dan Kediri. Sebagai alternatif taksi, di Surabaya terdapat angguna (angkutan serba guna), yang menggantikan helicak (di Jakarta disebut bajaj) sejak tahun 1990-an. Bus kota dapat dijumpai di Surabaya dan Jember. Becak adalah moda angkutan tradisional yang dapat dijumpai hampir di setiap wilayah, meski di sejumlah tempat dilarang beroperasi. Belakangan, terdapat becak bermesin yang dikenal dengan sebutan bentor (becak bermotor).
[sunting] Kereta api

Sistem perkeretaapian di Jawa Timur telah dibangun sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Jalur kereta api di Jawa Timur terdiri atas jalur utara (Surabaya Pasar Turi-Semarang-Jakarta), jalur tengah (Surabaya Gubeng-Yogyakarta-Jakarta), jalur lingkar selatan (Surabaya Gubeng-Malang-Blitar-Kertosono-Surabaya), dan jalur timur (Surabaya Gubeng-Jember-Banyuwangi). Jawa Timur juga terdapat sistem transportasi kereta komuter dengan rute Surabaya-Sidoarjo-Porong, Surabaya-Lamongan, Surabaya-Mojokerto, dan Malang-Kepanjen.
[sunting] Transportasi laut

Pelabuhan Internasional Hub Tanjung Perak adalah pelabuhan utama yang berada di Surabaya. Pelabuhan berskala nasional di Jawa Timur meliputi Pelabuhan Gresik di Kabupaten Gresik, Pelabuhan Tanjung Wangi di Kabupaten Banyuwangi, Pelabuhan Tanjung Tembaga di Kota Probolinggo, Pelabuhan Pasuruan di Kota Pasuruan, Pelabuhan Sapudi di Kabupaten Sumenep, Pelabuhan Kalbut di Kabupaten Situbondo, Pelabuhan Sapeken di Kabupaten Sumenep, Pelabuhan Paiton di Kabupaten Probolinggo, Pelabuhan Bawean di Kabupaten Gresik, serta Pelabuhan Kangean di Kabupaten Sumenep

Jawa Timur memiliki sejumlah pelabuhan penyeberangan, di antaranya Ujung-Kamal (menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura) dan Pelabuhan Ketapang (menghubungan Banyuwangi dengan Gilimanuk, Bali), Pelabuhan Kalianget (menghubungkan Madura dengan kepulauan), serta Pelabuhan Jangkar di Situbondo.
[sunting] Transportasi udara

Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo menghubungkan Jawa Timur dengan kota-kota besar di Indonesia dan luar negeri. Bandara umum lainnya adalah Bandara Abdul Rachman Saleh di Kabupaten Malang, Bandara Noto Hadinegoro di Kabupaten Jember, Bandara Iswahyudi di Madiun, Bandara Minakjinggo di Kabupaten Banyuwangi, serta Bandara Trunojoyo di Kabupaten Sumenep.
[sunting] Perekonomian
[sunting] Perindustrian

Jawa Timur memiliki sejumlah industri besar, di antaranya galangan pembuatan kapal terbesar di Indonesia PT PAL di Surabaya, industri kereta api PT INKA di Madiun, pabrik kertas (PT Tjiwi Kimia di Tarik-Sidoarjo, PT Leces di Probolinggo), pabrik rokok (Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya dan Pasuruan, serta Bentoel di Malang). Di Gresik terdapat Semen Gresik dan Petrokimia. Pemerintah telah menetapkan 12 kawaan industri estate, di antaranya Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Surabaya, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) di Kabupaten Pasuruan, Ngoro Industrial Park (NIP) di Kabupaten Mojokerto, Kawasan Industri Jabon di Kabupaten Sidoarjo, serta Lamongan Integrated Shorebase (LIS) di Kabupaten Lamongan. Sentra industri kecil tersebar di seluruh kabupaten/kota, dan beberapa di antaranya telah menembus ekspor; Industri kerajinan kulit berupa tas dan sepatu di Tanggulangin, Sidoarjo adalah salah satu industri kecil yang sangat terkenal.
[sunting] Pertambangan dan energi

Blok Cepu, salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, ditambang di Bojonegoro. Pembangkit listrik di Jawa Timur dikelola oleh PT PJB, dimana meliputi PLTA (Ir. Sutami, Selorejo, Bening), PLTU, dan PLTGU, yang menyediakan energi listrik ke sistem Jawa-Bali. Beberapa daerah menikmati pembangkit energi mikrohidro dan energi surya.
[sunting] Sosial
[sunting] Pendidikan

Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia. Di Surabaya terdapat Universitas Airlangga (Unair), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Negeri Surabaya (Unesa; dahulu IKIP Surabaya), Politeknik Negeri Surabaya (PNS) dan IAIN Sunan Ampel. Di Malang terdapat Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Negeri Malang (UM), Politeknik Negeri Malang (POLINEMA) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Di Jember terdapat Universitas Jember, Politeknik Negeri Jember (POLIJE). Politeknik Madiun di Kota Madiun dan Politeknik Banyuwangi (POLIWANGI) yang akan di jadikan Politeknik Negeri

Perguruan tinggi negeri termuda di Jawa Timur adalah Universitas Trunojoyo, yang terdapat di Kabupaten Bangkalan. Untuk perguruan tinggi kedinasan, di Surabaya terdapat Akademi Angkatan Laut (AAL), dan di Malang terdapat Sekolan Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Malang dikenal dengan sebutan Kota Pelajar, karena banyaknya perguruan tinggi di kota ini. Perguruan tinggi swasta terkemuka di Jawa Timur antara lain Universitas Kristen Petra dan Universitas Surabaya di Surabaya, serta Universitas Muhammadiyah dan Universitas Merdeka di Malang.

Jawa Timur juga dikenal sebagai provinsi yang memiliki sejumlah pondok pesantren ternama. Sedikitnya terdapat 1.500 pondok pesantren yang menyebar di hampir semua kabupaten. Pondok pesantren Gontor adalah sebuah pondok pesantren (ponpes) modern yang terdapat di Ponorogo. Kabupaten Jombang dikenal sebagai kota santri, karena memiliki pondok pesantren yang cukup banyak, di antaranya Ponpes Tebuireng dan Ponpes Darul Ulum.
[sunting] Kesehatan

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.Soetomo di Surabaya dikenal sebagai rumah sakit terlengkap di Jawa Timur dan Kawasan Timur Indonesia. Rumah sakit ternama lainnya adalah Rumah Sakit Darmo dan Rumah Sakit Internasional di Surabaya, Rumah Sakit Dr. Syaiful Anwar (RSSA) di Malang, Rumah Sakit Dr. Sardono di Madiun, serta Rumah Sakit Jiwa Menur di Surabaya.
[sunting] Pariwisata

Jawa Timur memiliki sejumlah tempat wisata yang menarik. Salah satu icon wisata Jawa Timur adalah Gunung Bromo, yang dihuni oleh Suku Tengger, dimana setiap tahun diselenggarakan upacara Kasada. Daerah pegunungan Malang dan Batu dikenal sebagai kawasan wisata alami yang banyak terdapat tempat peristirahatan, seperti daerah "Puncak" di Jawa Barat. Demikian pula daerah pegunungan di perbatasan Pasuruan-Mojokerto, seperti Prigen, Tretes, dan Trawas. Wisata alam lainnya di Jawa Timur adalah Taman Nasional (4 dari 12 Taman Nasional di Jawa), Kebun Raya Purwodadi di Purwodadi, Pasuruan, dan Taman Safari Indonesia II di Prigen.

Jawa Timur juga terdapat peninggalan sejarah pada era klasik. Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, dulunya merupakan pusat Kerajaan Majapahit, terdapat belasan candi dan makam raja-raja Majapahit. Candi-candi lainnya menyebar di hampir seluruh wilayah Jawa Timur, di antaranya Candi Penataran di Blitar. Di Madura, Sumenep merupakan pusat kerajaan Madura, dimana terdapat keraton, museum, dan makam raja-raja Madura (Asta Tinggi).

Jawa Timur dikenal memiliki panorama pantai yang sangat indah. Di pantai selatan terdapat Pantai Prigi,Pelang, dan Pantai Pasir Putih di Trenggalek, Pantai Popoh di Tulungagung, Pantai Ngliyep di Malang, dan Pantai Watu Ulo di Jember. Di pantai utara terdapat Pantai Tanjung Kodok di Kabupaten Lamongan, kini telah dikelola dan dikembangkan oleh Pemkab Lamongan menjadi kawasan Wisata Bahari Lamongan (WBL) disebut juga Jatim Park II, Pantai Kenjeran di Surabaya, dan Pantai Pasir Putih di Situbondo. Danau di Jawa Timur antara lain Telaga Sarangan di Magetan, Bendungan Sutami di Blitar, dan Bendungan Selorejo di Malang.

Kawasan pesisir utara terdapat sejumlah makam para wali, yang menjadi wisata religi para peziarah bagi umat Islam. Lima dari sembilan walisongo dimakamkan di Jawa Timur: Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Sunan Drajat di Paciran (Lamongan), dan Sunan Bonang di Tuban. Di kawasan pesisir utara ini juga terdapat gua-gua yang menarik: Gua Maharani di Lamongan dan Gua Akbar di Tuban. Makam proklamator Soekarno terdapat di Kota Blitar.

Surabaya merupakan pusat pemerintahan dan pusat bisnis Jawa Timur, dimana terdapat Tugu Pahlawan, Museum Mpu Tantular, Kebun Binatang Surabaya, Monumen Kapal Selam, Ampel Denta, Tunjungan, dan Kya-Kya. Jatim Park di Batu dan Wisata Bahari Lamongan merupakan miniatur Jawa Timur, yang juga merupakan wisata edukasi.
[sunting] Olahraga

Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah klub sepak bola profesional terbanyak di Indonesia. Klub Liga Super Indonesia termasuk Persik Kediri, Persema Malang, Arema Malang, Persekabpas Pasuruan, Deltras Sidoarjo, Persela Lamongan, dan Persebaya Surabaya.

Jawa Timur pernah dua kali menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON), yakni PON VII tahun 1969 dan PON XV tahun 2000. Semenjak tahun 1996 Tim Sepak Bola Jawa Timur selalu meraih medali emas termasuk pada tahun 2008 dan tercatat sebagai medali emas yang keempat diterima berurutan.

Jawa Timur juga menjadi tempat penyelengaraan ajang balap sepeda Tour de East Java.
[sunting] Kota-kota

Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur, hierarki perkotaan di Jawa Timur terdiri atas perkotaan metropolitan, perkotaan menengah, dan perkotaan kecil.

* Perkotaan metropolitan meliputi Perkotaan Surabaya Metropolitan Area (Kota Surabaya, perkotaan Sidoarjo dan sekitarnya, perkotaan Gresik dan sekitarnya, serta perkotaan Bangkalan dan sekitarnya) dan Perkotaan Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu, dan perkotaan Kepanjen dan sekitarnya).
* Perkotaan menengah terdiri atas: Perkotaan Tuban, Perkotaan Lamongan, Perkotaan Jombang, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan, Perkotaan Bojonegoro, Kota Madiun, Kota Kediri, Perkotaan Jember, Perkotaan Banyuwangi, Kota Blitar, Kota Probolinggo, Perkotaan Pamekasan dan Kota Batu.
* Perkotaan Kecil terdiri atas: Perkotaan Sampang, perkotaan Sumenep, Perkotaan Ngawi, Perkotaan Magetan, Perkotaan Nganjuk, Perkotaan Bondowoso, Perkotaan Tulungagung, Perkotaan Trenggalek, Perkotaan Ponorogo, Perkotaan Situbondo, Perkotaan Pacitan, Perkotaan Lumajang, Perkotaan Kepanjen dan Perkotaan Caruban.

[sunting] Kawasan lindung
[sunting] Kawasan suaka alam

Kawasan suaka alam meliputi cagar alam dan suaka margasatwa. Saat ini Jawa Timur terdapat 17 cagar alam dam 2 suaka margasatwa. Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Iyang terdapat di Bondowoso, Probolinggo, dan Jember. Sementara Suaka Margasatwa Pulau Bawean berada di Pulau Bawean.
[sunting] Kawasan pelestarian alam

Kawasan pelestarian alam meliputi taman nasional, taman hutan raya (tahura), dan taman wisata alam.

* Kawasan taman nasional meliputi:
o Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo.
o Taman Nasional Baluran di Kabupaten Situbondo.
o Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi.
o Taman Nasional Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi.
o Taman Nasional laut Sepanjang dan Saobi di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep.
* Kawasan hutan raya yaitu Taman Hutan Raya R. Soerjo yang berada di sebagian wilayah Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang.
* Taman wisata alam, meliputi Taman Wisata Kawah Ijen di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso; serta Taman Wisata Tretes di Gunung Baung, di Kabupaten Pasuruan.

[sunting] Makanan khas

Makanan khas Jawa Timur di antaranya adalah rawon dan rujak petis. Surabaya terkenal akan rujak cingur, semanggi, lontong balap, sate kerang, dan lontong kupang. Kediri terkenal akan tahu takwa, tahu pong, dan getuk pisang. Madiun dikenal sebagai penghasil brem. Kecamatan Babat, Lamongan terkenal akan wingko babat nya. Malang dikenal sebagai penghasil keripik tempe. Bondowoso merupakan penghasil tape yang sangat manis. Gresik terkenal dengan nasi krawu, otak-otak bandeng,bonggolan dan pudak nya. Sidoarjo terkenal akan kerupuk udang dan petisnya. Dan Trenggalek merupakan penghasil Tempe Kripik. Blitar memiliki makanan khas nasi pecel. Buah yang terkenal asli Blitar yaitu Rambutan.

Jagung dikenal sebagai salah satu makanan pokok orang Madura, sementara ubi kayu yang diolah menjadi gaplek dahulu merupakan makanan pokok sebagian penduduk di Pacitan dan Trenggalek.
[sunting] Catatan kaki

1. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003.
2. ^ Rencana untuk memindahkan Ibukota Kabupaten ke Kec. Wlingi dibatalkan dan dipindah ke Kec. Kanigoro sesuai dengan PP No.03 Tahun 2010
3. ^ Semula Pusat pemerintahan secara bertahap akan dipindahkan ke Pare tetapi tidak berhasil, sehingga ditempatkan di Kec. Ngasem tepatnya di Daerah Katang.
4. ^ Ada rencana untuk memindahkan Ibukota Kabupaten ke Caruban, dan sudah dirintis dengan banyak Kantor-Kantor Pemerintahan dibangun di Caruban
5. ^ Kabupaten Malang sebelumnya beribukota di Kota Malang.
6. ^ Pusat pemerintahan secara bertahap akan dipindahkan ke Mojosari
7. ^ Pusat pemerintahan Kabupaten Probolinggo pindah ke Kraksaan sesuai PP No. 02 Tahun 2010 tanggal 5 Januari 2010, sebelumnya ibukota berada di Kota Probolinggo
8. ^ Kabupaten ini dahulu bernama Kabupaten Panarukan. Karena pusat pemerintahannya berada di Situbondo, kabupaten ini namanya diganti menjadi Kabupaten Situbondo.
9. ^ Batu dibentuk sebagai kota otonom pada tanggal 21 Juni 2001, dari sebagian wilayah Kabupaten Malang. Sebelumnya Batu adalah kota administratif.
10. ^ Taselan, F. Demokrat Gusur Dominasi PKB di DPRD Jatim. Media Indonesia Daring. Edisi 18-05-2009.

(Ensiklopedia Nasional Indonesia.)

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes